Profil Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Labuhanbatu
Pelayanan Publik yang cepat, terjangkau dan transparan serta berorientasi pada kebutuhan dan kepuasan masyarakat menjadi tuntutan, khususnya dikalangan dunia usaha. Pelayanan Perizinan adalah salah satu layanan birokrasi yang cukup besar pengaruhnya terhadap kinerja dunia usaha dan investasi, yakni kebutuhan masyarakat untuk memperoleh kepastian hukum dalam melakukan usaha dan kegiatan yang mempunyai efek di bidang sosial, ekonomi, politik dan sebagainya.
Dengan semangat otonomi daerah, pemerintah daerah harus mengakomodasi perubahan paradigma tersebut. Untuk membantu pemerintah daerah, pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri telah menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Tidak cukup dengan itu, untuk memperkuat dasar untuk mengakomodasi perubahan tersebut pemerintah pusat juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi dan Perangkat Daerah.
Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu menanggapi tuntutan dimaksud dengan membentuk instansi Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Labuhanbatu melalui Peraturan Daerah Nomor 36 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tatakerja Lembaga Teknis Daerah. Instansi ini dimaksudkan untuk memberikan jasa pelayanan publik yang dibentuk dalam rangka mengkoordinir pelayanan administrasi pemerintah dibidang pelayanan perizinan yang spesifik bekerja melayani permohonan berbagai jenis izin sehingga memudahkan pelayanan perizinan kepada masyarakat.
Instansi ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dan memberikan akses yang lebih luas kepada masyarakat untuk mendapatkan pelayanan publik. Untuk mencapai tujuan tersebut sasarannya adalah mewujudkan pelayanan publik yang cepat, murah, mudah, transparan, pasti dan terjangkau dan meningkatkan hak-hak masyarakat terhadap pelayanan publik.
Untuk mencapai tujuan tersebut, untuk jangka pendek instansi ini mempunyai visi dan misi. Adapun visinya adalah mewujudkan pelayanan perizinan yang ramah, profesional dan partisifatif untuk mencapai masyarakat Labuhanbatu yang sejahtera. Sedangkan misinya adalah mewujudkan pelayanan perizinan yang transparan dan profesional, menghasilkan Pelayanan Perizinan yang bermutu, merata dan terjangkau dalam bentuk promotif, prefentif dan kuantitatif, dan menciptakan citra pelayanan dengan memperlakukan penggunaan layanan sebagai pusat perhatian.
Peraturan Daerah tersebut ditindaklanjuti Bupati Labuhanbatu dengan mengeluarkan dua keputusan dan satu peraturan sebagai operasional pelayanan perizinan pada instansi ini, yaitu:
1. Keputusan Bupati Labuhanbatu Nomor 503/38/ORG/2010 Tanggal 03 Pebruari 2010 Tentang Pendelegasian Sebahagian Wewenang Penanadatanganan Naskah Perizinan di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu Kepada Kepala Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Labuhanbatu.
2. Peraturan Bupati Labuhanbatu Nomor 04 Tahun 2010 Tanggal 09 Pebruari 2010 Tentang Standart Operating Procedure (SOP) / Standarisasi Prosedur Pelayanan Perizinan Pada Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Labuhanbatu
3. Keputusan Bupati Labuhanbatu Nomor 503/50/ORG/2010 Tanggal 15 Pebruari 2010 Tentang Pembentukan Tim Teknis Pelayanan Perizinan Terpadu Pada Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu Kabupaten Labuhanbatu
Pendelegasian Wewenang Penanadatanganan Naskah Perizinan
Untuk tahap pertama Bupati Labuhanbatu dengan surat keputusan No:503/38/ORG/2010 baru mendelegasikan sembilan pelayanan perizinan kepada instansi ini, yaitu:
1. Perizinan pengelolaan dan pengusahaan sarang burung walet sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Labuhanbatu Nomor 17 Tahun 2002 tentang Perubahan Peraturan Daerah Kabupaten Labuhanbatu Nomor 05 Tahun 2000 tentang Ketentuan Izin dan Retribusi Pengelolaan dan Pengusahaan Sarang Burung Walet.
2. Perizinan kepariwisataan sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Labuhanbatu Nomor 27 Tahun 2007 tentang Retribusi Izin Usaha Kepariwisataan.
3. Perizinan usaha industri, izin usaha perdagangan, tanda daftar industri, gudang dan perusahaan sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Labuhanbatu Nomor 06 Tahun 2008 tentang izin Usaha Industri, Izin Usaha Perdagangan, Tanda Daftar Industri, Gudang dan Perusahaan.
4. Perizinan Usaha Perikanan sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Labuhanbatu Nomor 11 Tahun 2008 tentang Izin Usaha Perikanan.
5. Perizinan usaha pengujian kapal perikanan sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Labuhanbatu Nomor 12 Tahun 2008 tentang Izin Usaha Pengujian Kapal Perikanan.
6. Perizinan Operasi Kendaraan Beca Bermesin Dalam Kabupaten Labuhanbatu sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Labuhanbatu Nomor 15 Tahun 2008 tentang Izin Operasi Kendaraan Beca Bermesin Dalam Kabupaten Labuhanbatu.
7. Perizinan pengawasan dan pengendalian tempat/lokasi peredaran dan penjualan minuman beralkohol sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Labuhanbatu Nomor 31 Tahun 2008 tentang Izin Pengawasan dan Pengendalian Tempat/Lokasi Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol.
8. Perizinan pengelolaan usaha pertambangan umum sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Labuhanbatu Nomor 38 Tahun 2008 tentang Izin Pengelolaan Usaha Pertambangan Umum.
9. Perizinan bidang kesehatan sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Labuhanbatu Nomor 38 Tahun 2008 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan pada Pusat Kesehatan Masyarakat dan Dinas Kesehatan Kabupaten Labuhanbatu.
Standard Operating Procedure (SOP)
Standar Operasional Prosedure (SOP) merupakan subuah instruksi yang tertulis untuk dijadikan pedoman dalam menyelesaikan tugas rutin dengan cara yang efektif dan efesien guna menghindari terjadinya penyimpangan dalam proses penyelesaian kegiatan. Yang didalamnya setidaknya memuat tata cara atau tahapan layanan, meliputi: 1) Batasan waktu, 2) persyaratan yang dibutuhkan dan 3) bentuk formulir.
Esensi SOP merupakan uraian yang sangat jelas dan rinci mengenai apa yang dipersyaratkan kepada seluruh aparatur selama melaksanakan tugas serta standar pencapaian pada suatu unit kerja dan menjaga pengawasan kualitas dan proses penjaminan kualitas serta memastikan penerapan berbagai aturan.
Kegunaan SOP adalah menghapus paradigma dalam hal penyimpangan yang disertai dengan tingginya tingkat kesulitan pada setiap proses sebuah organisasi. Untuk itu peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat sangat diperlukan mengingat pelayanan prima hanya akan terwujud apabila pemberi layanan dan penerima layanan memiliki pemahaman dan keinginan yang akan dicapai.
Sejalan dengan itu sebagai pedoman pelayanan perizinan Bupati Labuhanbatu pada tanggal 19 Februari 2010 mengeluarkan Peraturan No:04 Tahun 2010 sebagai Standar Operasional Prosedure (SOP).
Struktur Organisasi
Sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Labuhanbatu Nomor 36 Tahun 2008 tugas pokok instansi ini adalah membantu Bupati melaksanakan urusan pemerintahan daerah di bidang penanaman modal dan pelayanan perizinan terpadu. Sedangkan fungsinya adalah untuk melaksanakan perumusan kebijakan teknis di bidang penanaman modal dan pelayanan perizinan terpadu, memberikan dukungan terhadap penyelnggaraan pemerintahan daerah di bidang penanaman modal dan pelayanan perizinan terpadu dan menyelenggarakan kebijakan dan pembinaan di bidang penanaman modal dan pelayanan perizinan terpadu. Struktur organisasi instansi ini seperti gambar disamping.
Target dan Realisasi Penerimaan Retribusi
Tahun 2010 instansi ini belum menetapkan besaran target yang akan dicapai untuk masing-masing jenis retribusi perizinan tersebut. Ini dikarenakan saat awal tahun anggaran 2010 pelimpahan wewenang pelayanan dan pengutipan retribusi belum disahkan. Sedangkan target untuk tahun 2011 sudah ditetapkan dalam Peraturan Bupati Nomor 34 Tahun 2011 sebesar Rp.181.273.915,-.
Tahun 2010, seperti yang tertuang dalam laporan keuangan instansi ini, realisasi retribusi kesembilan perizinan tersebut sebesar Rp.123.774.700,-. Realisasi tersebut terhitung mulai bulan Maret 2010. Untuk lebih jelasnya target dan realisasi retribusi kesembilan perizinan tersebut untuk tahun anggaran 2010 dan sampai dengan April 2011 dapat dilihat pada dua tabel dibawah ini.
Analisa
Dari data tabel realisasi tahun 2010 diatas dapat dilihat bahwa penyumbang terbesar adalah dari retribusi izin usaha perdagangan, tanda daftar industri, izin gudang dan tanda daftar perusahaan sebesar Rp.85.350.000,- atau sekitar 68,95% dari seluruh realisasi retribusi tahun 2010. Berikutnya realisasi retribusi izin kepariwisataan sebesar Rp.10.250.000,- (8,28%), retribusi Izin Penyelenggaraan Toko Obat Berizin, Izin Penyelenggaraan Apotik dan Optik sebesar Rp.9.150.000 (7,39%), retribusi Izin Pengelolaan dan Pengusahaan Sarang Burung Walet sebesar Rp.7.500.000 (6,06%), retribusi Izin Pengujian Kapal Perikanan sebesar Rp.6.130.000,- (4,95%), retribusi Izin Bahan Galian Golongan C atau Yang Tidak Termasuk Golongan A dan B sebesar Rp.3.294.700,- (2,66%), dan Retribusi Izin Usaha Perikanan sebesar Rp.2.100.000,- (1,67%). Sedangkan retribusi Izin Operasi Kenderaan Beca Motor dan Retribusi Izin Pengawasan Dan Pengendalian Minuman Beralkohol realisasinya nihil.
Target penerimaan retribusi dari kesembilan izin tersebut untuk tahun 2011 mencapai Rp.181.273.915,-. Seperti terlihat pada tabel diatas target sampai dengan april 2011 sebesar Rp. 60.292.800,-. Jumlah target tesebut terdiri dari target bulan Januari samapi dengan April yang masing-masing sebesar Rp.15.073.200,-.
Dari jumlah target diatas realisasi sampai dengan April 2011 hanya mencapai Rp.26.285.000,- atau 43,6% dari target. Jumlah tersebut terdiri dari Izin usaha industri, izin usaha perdagangan, tanda daftar industri, gudang dan perusahaan sebesar Rp.17.850.000,- atau 67,91%, Izin Kepariwisataan sebesar Rp.6.500.000,- atau 24,73%, Izin Penyelenggaraan Toko Obat Berizin, Izin Penyelenggaraan Apotik dan Optik dan IzinPengelolaan dan Pengusahaan Sarang Burung Walet masing-masing sebesar Rp.500.000,- atau 1,9%. Izin Bahan galian golongan C atau yang tidak termasuk golongan A dan B sebesar Rp.485.000,- atau 1,85%, Izin Usaha Perikanan sebesar Rp.450.000,- atau 1,71%. Sedangkan Izin Pengujian Kapal Perikanan, Izin Operasi Kenderaan Beca Motor, dan Izin Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol sampai bulan April 2011 realisasinya masih nihil. Untuk lebih jelasnya masing-masing jenis retribusi perizinan akan diuraikan realisasi perbulan seperti dibawah ini.
Untuk bulan Januari realisasi 0% dari target. Realisasi kesembilan jenis retribusi perizinan nihil. Sedangkan untuk bulan Pebruari realisasi sebesar Rp.100.000,- atau 0,66% dari target yaitu retribusi Izin Usaha Perikanan. Realisasi Izin Pengelolaan Sarang Burung Walet, Izin Kepariwisataan, Inzin Usaha Industri Pedagangan, Izin Pengujian Kapal Perikanan, Izin Operasi Kenderaan Beca Bermotor, Izin Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol, Izin Bahan Galian Golongan C Atau Yang Bukan Golongan A dan B dan Izin Penyelenggaraan Toko Obat Berizin Penyelenggaraan Apotek dan Optik nihil.
Realisasi bulan Maret mencapai Rp.25.985.000,-. yang melebihi target sebesar Rp.10.911.800,- atau 72,39%. Realisasi tersebut terdiri dari Izin Usaha Perdagangan sebesar Rp.17.850.000,- atau 68,69%, disusul Izin Kepariwisataan sebesar Rp.6.500.000,- atau 25,01%. Izin Pengelolaan dan Pengusahaan Sarang Burung Walet dan Izin Penyelenggaraan Toko Obat Berizin masing-masing sebesar Rp.500.000,- atau 1,92%. Izin Pertambangan sebesar Rp.485.000,- atau 1,87% serta Izin Usaha Perikanan sebesar Rp.150.000,- atau 0,58%. Sedangkan Izin Pengujian kapan Perikanan, Izin Operasi Kenderaan Beca Bermotor dan Izin Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol nihil.
Untuk bulan April realisasi hanya sebesar Rp.200.000,- atau 1,33% dari target. Izin hanya disumbang dari Izin Usaha Perikanan sedangkan untuk izin usaha lainnya realisasinya nihil.
Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa realisasi target sampai bulan April 2011 hanya Rp.26.285.000,- atau 43,6% dan itu sebesar 14,50% dari target 2011. Rendahnya realisasi ini menurut penulis disebabkan oleh dua hal, yaitu:
Pertama, adanya peraturan daerah tentang retribusi perizinan yang bertentangan dengan ketentuan hukum yang lebih tinggi. Maksudnya adalah terdapat Peraturan Daerah tentang retribusi sebagaimana disebutkan diatas yang bertentangan dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.
Undang-undang tersebut menyebutkan retribusi perizinan tertentu yang terdapat didaerah hanya 5 jenis, diluar kelima jenis retribusi perizinan tersebut dilarang. Sehingga Undang-undang ini menggugurkan tujuh Peraturan Daerah Kabupaten Labuhanbatu yang telah dilimpahkan kepada Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu. Dari kesembilan Peraturan Daerah tersebut yang dilarang adalah Peraturan Daerah Nomor 17 Tahun 2002 Tentang IzinPengelolaan dan Pengusahaan Sarang Burung Walet, Nomor 27 Tahun 2007 tentang Izin Kepariwisataan, Nomor 06 Tahun 2008 tentang Izin Usaha Industri, Izin Usaha Perdagangan, Tanda Daftar Industri, Gudang Dan Perusahaan, Nomor 12 Tahun 2008 tentang Izin Pengujian Kapal Perikanan, Nomor 15 Tahun 2008 tentang Izin Operasi Kenderaan Beca Motor, Nomor 38 Tahun 2008 tentang Izin Bahan galian golongan C atau Yang Tidak Termasuk Golongan A dan B, dan Nomor 05 Tahun 2008 tentang Izin Penyelenggaraan Toko Obat Berizin, Izin Penyelenggaraan Apotik dan Optik.
Peraturan Daerah yang tidak bertentangan dengan undang-undang tersebut adalah Nomor 11 Tahun 2008 tentang Izin Usaha Perikanan dan Nomor 31 Tahun 2008 tentang Izin Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol. Realisasi kedua jenis izin ini sangatlah rendah yaitu hanya sebesar Rp.2.100.000,- atau 1,7% ditahun 2010. Sedangkan sampai dengan April 2011 realisasi kedua izin tersebut sebesar Rp.450.000,- atau 1,71% dari realisasi dan hanya 0,75% dari target.
Kedua, sesuai dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2010, kelima retribusi perizinan yang diperbolehkan Pemerintah Pusat belum semua dilimpahkan kepada instansi ini. Sebagai instansi yang memberikan jasa pelayanan publik yang dibentuk dalam rangka mengkoordinir pelayanan administrasi pelayanan perizinan yang spesifik bekerja untuk melayani berbagai jenis izin, seyogianya sudah mengelola seluruh perizinan yang ada. Itu tercantum dalam point (2) Surat Edaran Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 570/3727A/SJ, SE/08/M.PAN-RB/9/2010 dan 12 Tahun 2010 tanggal 15 September 2010 tentang Sinkronisasi Pelaksanaan Penanaman Modal di Daerah menyebutkan bahwa “Penyelenggaraan pelayanan di bidang penanaman modal adalah kegiatan pelayanan perizinan dan non perizinan yang terkait penanaman modal yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen dilakukan dalam satu tempat”. Sehingga semua pelayanan perizinan yang ada di Pemerintah Kabupaten Labuhanbatu seharusnya sudah dilimpahkan kepada isntansi ini dengan tujuan untuk mengefektifkan penerimaan retribusi perizinan. Dari lima jenis retribusi perizinan yang diperbolehkan hanya dua izin yang terdapat pada instansi ini.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa target PAD pada instansi ini tidak akan tercapai (hanya 1,7% dari target) yang berakibat pada tidak tercapainya target PAD Kabupaten Labuhanbatu Tahun 2011.
Selasa, 12 Juli 2011
Minggu, 08 Mei 2011
Sipirok, Dinamika Masyarakat Beradat Angkola
Antropologi Masyarakat Beradat Angkola
Masyarakat di Kabupaten Tapanuli Selatan adalah masyarakat beradat Angkola yang terdiri dari beberapa masyarakat marga. Dalam kehidupan social, setiap anggota masyarakat marga memiliki norma-norma yang sama terhadap minat, dimana para anggota berperan serta dalam sebuah sistem peran yang saling terbuka—setiap anggota mengidentifikasi diri satu sama lain sebagai tuntutan dari cita-cita atau harapan mereka; setiap anggota merasa bahwa kelompok tersebut memberikan kepuasan; setiap anggota mengupayakan pencapaian tujuan yang saling berhubungan; setiap anggota memiliki persepsi bersama tentang kesatuan; dan setiap anggota cenderung bertindak dalam pola perilaku sama terhadap lingkungan sekitar.
Sejarah peradaban masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan adalah serentangan kisah gilang-gemilang di masa lalu tentang kekayaan alam yang melimpah, yang memikat hati kolonial untuk mengeruknya hingga ke dasar perut bumi. Kekayaan alam yang mampu menopang kehidupan masyarakat sehingga secara ekonomi hidup lebih sejahtera, kemudian menghasilkan masyarakat yang secara sosiologis mampu membangun sistem harapan (system of hope) yang luar biasa untuk hanya mengejar tiga hal dalam kehidupan: hamoraon (kehormatan), hagabeon (kebahagiaan), dan hasangapon (kekayaan).
Inilah masyarakat beradat Angkola dan beradat Mandailing. Sejarah panjang dan gemilang masyarakat itu dapat ditelusuri dalam tradisi bahasa, yang sejarah bahasanya telah dimiliki sepanjang peradaban masyarakat itu ada. Tidak banyak peradaban manusia yang mampu menghasilkan bahasa yang khas masyarakatnya. Di Indonesia, ada 746 bahasa daerah yang pernah didata oleh Pusat Balai Bahasa Nasional, salah satunya adalah bahasa yang dimiliki masyarakat di Kabupaten Tapanuli Selatan. Bahasa masyarakat ini digolongkan ke dalam sub bahasa Batak, maka dengan sendirinya masyarakat yang memiliki bahasa ini digolongkan sebagai masyarakat beradat Batak, penganut sub-budaya Batak.
Meskipun tradsi bahasa sangat kuat dan dapat menjadi sumber utama dalam menganalisis masyarakat beradat Angkola dan beradat Mandailing, tetapi peran Belanda yang begitu luar biasa dalam mengubah masyarakat tidak bisa diabaikan. Untuk kepentingan penjajahan guna mengeruk semua hasil bumi dan melakukan kristenisasi, Belanda mengdestrukturisasi status social masyarakat dan merekonstruksi status social baru dengan memperkenalkan organisasi-organisasi moderen, sehingga membuat masyarakat beradat Angkola dan beradat Mandailing berubah secara social. Masyarakat yang menghuni Kabupaten Tapanuli Selatan yang ada saat ini merupakan masyarakat hasil konstruksi Belanda.
Khazanah Warisan Tradisi Bahasa
Masyarakat etnik di Kabupaten Tapanuli Selatan adalah masyarakat beradat Angkola dan beradat Mandailing. Kapan persisnya masyarakat adat Angkola dan Mandailing mulai mengenal bahasa dan memiliki aksara? Sulit menyimpulkan secara pasti. Tapi, dari sejumlah hasil penelitian menunjukkan, bahasa masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan berakar pada bahasa Austronesia, sama seperti akar sebagian besar bahasa milik masyarakat etnik yang ada di Indonesia. Akar bahasa Austronesia ini diduga berasal dari daratan Cina selatan.
Sejarah bahasa Austronesia sebagai rumpun bahasa yang banyak dipergunakan di dunia, pertama sekali dipergunakan petani di Taiwan yang tiba di daerah itu antara 5.000 dan 6.000 tahun lalu. Robert Blust, seorang pakar bahasa, menyusun silsilah sub-sub kelompok bahasa Austronesia tingkat tertinggi, dimulai dari bahasa Proto-Austronesia yang berasal dari Taiwan, kemudian mencakup Filipina, Kalimantan, dan Sulawesi, dan akhirnya bercabang dua, yang satu menyebar ke barat: Jawa, Sumatra, dan Semenanjung Melayu; lainnya menyebar ke timur melalui Halmahera ke wilayah Oceania.
Kesimpulan ini diambil setelah membandingkan bahasa-bahasa masyarakat lokal yang ada di sejumlah daerah di kawasan Asia, dimana ada kemiripan antara bahasa daerah yang satu dengan bahasa daerah lainnya. Dari temuan para ahli bahasa yang ada dalam Indonesia Heritage: Bahasa dan Sastra, bisa dibandingkan bahasa dan aksara yang dimiliki masyarakat adat Lampung, Bugis, Sasak, Batak, Palembang, dan beberapa bahasa daerah lain yang ada di Nusantara. Hasilnya, bahasa-bahasa tersebut memiliki kemiripan karena memang berasal dari satu rumpun bahasa yang sama.
Sebab itu, jika dilihat dari sejarah bahasa, maka masyarakat beradat Angkola dan Mandailing di Kabupaten Tapanuli Selatan merupakan masyarakat yang secara tradisional memiliki persamaan identitas dengan bangsa-bangsa lain yang ada di Asia. Berarti, secara genekologi masyarakat beradat Angkola dan Mandailing memiliki hubungan dengan bangsa-bangsa lain di kawasan Asia. Kesimpulan ini sangat beralasan apabila mengacu pada sejarah asal mula manusia yang dating ke Indonesia, bahwa mereka diperkirakan berasal dari daratan Indo China (diperkirakan di kawasan Taiwan), yang melakukan perpindahan secara besar-besaran ke seluruh wilayah Asia termasuk ke Indonesia.
Pada awalnya, para pengungsi memiliki akar bahasa yang sama yang disebut Austronesia. Namun, akar bahasa Austronesia itu mengalami perubahan di kalangan para pengungsi yang terpecah-pecah sesuai daerah penyebaran masing-masing, akibat penyesuaian dengan lingkungan dari tiap-tiap masyarakat pemilik bahasa tersebut. Sebab itu, kemiripan bahasa dan aksara Lampung, misalnya, dengan bahasa Bugis dan Batak, bukan berarti ketiga masyarakat budaya ini memiliki tata nilai dan norma perilaku budaya yang sama. Kesamaan identitas berupa bahasa tidak menyebabkan terjadinya pemahaman yang sama atas makna dalam kata sehingga fungsi-fungsi bahasa bagi masyarakat adat tersebut menjadi berbeda antara satu dengan lainnya.
Dalam berbagai cerita mitos, bahasa diperoleh manusia langsung dari Tuhan. Pendapat ini bisa dimaklumi dengan memahami premis pertama dari mitos. Bahwa mitos adalah sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang. Fungsi utama mitos adalah menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-keuatan ajaib, tetapi mitos tidak memberikan bahan informasi mengenai kekuatan-kekuatan itu melainkan membantu manusia agar bisa menghayati daya-daya itu sebagai kekuatan-kekuatan yang dapat memengaruhi alam dan kehidupan komunitasnya.
Dalam pemikiran filsafat, manusia dilihat sebagai mahluk yang selalu berkomunikasi. Pada tahap awal kebudayaan manusia, termasuk manusia di Kabupaten Tapanuli Selatan, mereka adalah mahluk yang mampu berbicara. Dengan kemampuan itulah mereka beraktivitas. Mula-mula aktivitas itu diarahkan untuk menamai hal-hal yang ada di lingkungannya, kemudian dipergunakan untuk berinteraksi dengan individu-individu di lingkungannya, yang akhirnya membentuk sebuah komunitas masyarakat. Komunitas ini diikat oleh tradisi yang sama, pemahaman yang serupa, dan pengetahuan atas hal-hal yang disepakati sebagai konvensi. Itulah sistem budaya yang kemudian mengatur semua penganutnya hingga terbentuk sebuah tatanan yang diarahkan untuk mengakomodasi kepentingan semua anggota komunitas.
Di dalam ilmu sosial-budaya apabila mengkaji fenomena sosial dengan perspektif fungsi, pastilah akan berpijak pada paradigma pendekatan fungsionalisme. Sebagai perspektif teoritik dalam antropologi, fungsionalisme bertumpu pada analogi dengan organisme/makhluk hidup. Artinya, semua sistem budaya yang ada pada sebuah komunitas masyarakat memiliki syarat-syarat fungsional, atau sistem budaya memiliki kebutuhan sosial yang harus dipenuhi agar sistem sosial-budaya dapat bertahan hidup. Apabila kebutuhan itu tidak terpenuhi maka sistem sosial-budaya itu akan mengalami disintegrasi dan mati.
Kita bisa memahami bahasa sebagai sistem tanda. Bahasa melambangkan dinamika kehidupan masyarakat pemiliknya. Dengan bahasa pula masyarakat dapat menjalankan aktivitas yang bermakna di dunia, terutama dalam fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Pada kulit luarnya, bahasa memang ungkapan pikiran dan perasaan manusia, tetapi pada intinya bahasa adalah pengorganisasian dunia: dimulai dengan pengorganisasian dunia kognitif yang bergerak ke pengorganisasian dunia luar. Jika bahasa dilihat sebagai pengorganisasian dunia, maka kebudayaan wujud dari filsafat hidup manusia dalam mengorganisir dunia.
Pengertian bahasa mencakup isi keteraturan dan struktur. Bahasa sebagai asas pengaturan untuk menata chaos (ketiadaan aturan atau the absent of order) menjadi logos (keteraturan atau the present of order). Keteraturan itu harus didukung kepastian sebagai dasar dan patokan yang menduduki tempat tertinggi dalam struktur bahasa. Nalarlah yang menjadi puncaknya. Lalu, kata-kata menjadi elemen-elemen yang membangun struktur bahasa. Maka, hiduplah manusia dengan kerangka rujukan (frame of reference) dalam realitas yang ditertibkan logos, nalar, dan kata. Itulah kehidupan manusia yang manusiawi. Karena itu, bahasa berhubungan erat dengan sistem social-budaya lainnya sehingga terjaga integrasi sistem. Bahasa bagi masyarakat etnik di Kabupaten Tapanuli Selatan berfungsi sebagai pemersatu sekaligus menjadi identitas masyarakat pemiliknya.
Sebagai pemersatu, bahasa memungkinkan terjalin komunikasi antara setiap anggota komunitas. Komunikasi merupakan kegiatan manusia untuk menyampaikan kepada orang lain apa yang menjadi pikiran, harapan, atau pengalamannya. Ini mengandung makna dalam kehidupan sosial, bahwa komunikasi memunyai kemampuan untuk mengubah masyarakat. Sebaliknya, individu dapat juga menyesuaikan diri dengan kelompoknya melalui komunikasi. Komunikasi menjadi pendorong utama bagi terciptanya sebuah kelompok.
Apabila bahasa sebagai pemersatu masyarakat tidak mampu memberikan fungsinya, maka akan terbayangkan adanya kegoncangan sistem sosial-budaya. Komunikasi antara anggota komunitas tidak akan terjalin, sehingga aktivitas setiap anggota komunitas tidak akan mampu membentuk sebuah kelompok. Setiap anggota komunitas berubaha menjadi individu yang tak saling berhubungan, tidak ada kohesivitas yang mampu menyatukan setiap anggota.
Dalam hal bahasa sebagai identitas, maka bahasa yang dimiliki masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan menjadi ciri atau tanda yang membedakan dengan masyarakat di daerah lain. Identitas ini tidak stabil karena selalu berproses lewat wacana untuk berkomunikasi, sehingga identitas selalu terjaga, dinamis, berubah, atau malah musnah. Berawal dari merosotnya atau musnahnya kebanggaan akan identitas yang berupa bahasa, maka sistem sosial yang mengkristalisasi dalam laku bahasa itu akan ikut hilang.
Berangkat dari bahasa sebagai identitas, masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan sudah berperadaban sejak lama, sepanjang masyarakat itu ada. Peradaban masyarakat ditandai dengan adanya nilai-nilai tradisi dan norma-norma budaya yang diwariskan kepada generasi saat ini, yang keseluruhannya menyimpan tatanan hidup dan pola laku masyarakat awal. Tatanan hidup dan pola laku masyarakat awal di Kabupaten Tapanuli Selatan tidak sepenuhnya luntur dari jiwa masyarakat saat ini. Sebagian besar masih tertanam utuh dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat.
Secara sosiologi, yang dimaksud masyarakat sangat banyak defenisinya. Karena itu, para ahli lebih melihat pada ciri-cirinya, bahwa masyarakat terdiri dari manusia yang hidup bersama, yang secara teoritis berjumlah dua orang dalam ukuran minimalnya, dan mereka saling bergaul antara satu dengan lainnya dalam kurun waktu yang cukup lama. Masyarakat juga ditentukan oleh kesadaran mereka untuk berhubungan diantara mereka sehingga membentuk satu kesatuan yang kemudian menghasilkan kebudayaan.
Masyarakat adat merupakan kelompok sosial yang berbudaya, memiliki kebiasaan atau tradisi dalam bentuk perbuatan, tindakan, maupun ucapan yang memiliki arti khusus bagi warganya. Bagi masyarakat berbudaya, tindakan-tindakan mereka dilandasi nilai-nilai sosial dan religius yang berperan dalam mengarahkan perilaku individu maupun sosial, sehingga indvidu dan kelompok berinteraksi dalam membangun sebuah harmoni.
Masyarakat adat Angkola maupun Mandailing merupakan mahluk berbudaya. Tiap-tiap kelompok dari masyarakat adat Angkola dan Mandailing, diatur oleh sistem sosial masing-masing, yang antara keduanya ada perbedaan sangat signifikan meskipun pada tingkat kognitif dan aflikatif banyak kemiripan dari pola laku keseharian.
Suatu sistem merupakan suatu keseluruhan terangkai, yang mencakup unsur-unsur, bagian-bagian, konsistensinya, kelengkapan, dan konsepsi-konsepsi atau pengertian-pengertian dasarnya. Sistem sosial menunjuk pada suatu keseluruhan terangkai, yang menyangkut hubungan antara manusia dengan kelompok, yang tercakup dalam pengertian interaksi sosial.
Setiap manusia memiliki apa yang dimaksud dengan perilaku (behaviour), yakni suatu totalitas dari gerak motoris, persepsi, dan fungsi kognitif dari manusia. Salah satu unsur dari perilaku adalah gerak sosial, yakni suatu gerak yang terikat oleh empat syarat, yakni: (1) diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu; (2) terjadi pada situasi tertentu; (3) diatur oleh kaidah-kaidah tertentu; dan (4) terdorong oleh motivasi-motivasi tertentu.
Setiap gerak sosial merupakan suatu sistem yang mencakup sub-sistem budaya, sub-sistem sosial, sub-sistem kepribadian, dan sub-sistem organisme perilaku. Dalam perspektif filsafat social budaya, gerak social suatu masyarakat merupakan sebuah upaya untuk mewujudkan cita-cita atau tujuan yang telah ditanamkan di dalam dirinya sejak lama, yakni yang berkaitan dengan gambaran masa depan yang cemerlang.
Awalnya, masyarakat adat Angkola dan Mandailing menyebar di wilayah-wilayah yang berbeda. Masyarakat beradat Angkola dominan menetap di wilayah Utara dari Kabupaten Tapanuli Selatan, mulai dari Kecamatan Batangtoru, Sipirok, Arse, Sipirok Dolok Hole, Huristak, Gunungtua, Dolok, sampai Barumun. Sedangkan masyarakat beradat Mandailing menyebar secara dominan di wilayah Selatan dari Kabupaten Tapanuli Selatan: Panyabungan, Kotanopan, Natal, dan Muarasipongi.
Batas-batas budaya penyebaran dominan dari kedua masyarakat adat ini, oleh Belanda dipertegas menjadi batas teritorial administrasi pemerintahan. Belanda mengasumsikan, dengan memposisikan setiap masyarakat adat Angkola maupun Mandailing ke dalam wilayah teritorial administrasi pemerintahan yang berbeda, kedua masyarakat awal Kabupaten Tapanuli Selatan ini akan terbagi ke dalam dua lingkungan budaya yang berbeda. Masing-masing perbedaan dipertajam Belanda untuk melemahkan persatuan antara komunitas masyarakat etnik, sehingga rencana menancapkan kekuasaan bisa berjalan dengan mudah.
Namun, politik memecah masyarakat adat Angkola dengan masyarakat adat Mandailing ke dalam dua wilayah territorial administrasi pemerintahan, tidak membuat tradisi budaya kedua masyarakat adat menjadi berbeda. Perbedaan kedua masyarakat adat ini hanya pada dialek bahasa, namun tidak pada subtansi bahasa itu sendiri. Dalam hal komunikasi, kedua masyarakat adat ini tetap terjalin, karena mereka memiliki pemahaman dan pengertian yang sama atas simbol-simbol bahasa. Karena itu, hubungan social di antara kedua masyarakat adat ini tidak pernah putus. Malah, hubungan social itu terjalin erat lewat jalur perkawinan antara masyarakat adat, kemudian mereka diikat oleh nilai-nilai adat yang sulit terceraikan.
Nilai-nilai social dan norma-norma perilaku budaya masyarakat, terintegrasi antara masyarakat adat Angkola dengan adat Mandailing di dalam sistem social yang sama, membuat kedua masyarakat adat ini senantiasa bisa menjaga harmoni. Politik penumbuhan stratifikasi sosial Belanda, meskipun mampu melahirkan individu-individu dalam masyarakat adat Angkola maupun Mandailing yang sangat bangga atas status barunya sebagai wakil pemerintah pemerintah Belanda, tapi individu itu menghadapi kesulitan saat berhadaan dengan masyarakat adat ketika menyampaikan kebijakan-kebijakan Belanda.
Politik Belanda dimana masyarakat adat yang dijajah diajak berpartisipasi dalam struktur penjajahan sebagai wakil pemerintah kolonial, sehingga individu di dalam lingkungan masyarakat adat dibentur-benturkan. Namun, Belanda tidak menemukan kelemahan dari masyarakat adat yang bisa dilestarikan sebagai alat politik, karena diferensiasi budaya antara masyarakat adat Angkola dengan adat Mandailing hampir tidak ada. Secara politik masyarakat sudah hidup dalam lingkungan demokrasi yang mengejawantah pada semangat Dalihan Na Tolu.
Di dalam tradisi bahasa, masyarakat adat Angkola dan Mandailing menemukan bahwa segala dinamika kebudayaan masyarakatnya, berikut segenap nilai-nilai luhur dan filsafat hidupnya, terentang dengan jelas. Produk-produk kebudayaan mereka bisa berupa cerita rakyat (foklor), ragam sastra lisan, tradisi, adat, sampai mitologi menyimpan gerak sosial mereka dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam produk-produk bahasa tersebut, ditemukan peradaban masyarakat adat Angkola dan Mandailing lengkap dengan pandangan dunia (weltansichten) dan pengetahuan.
Dengan memelajari bahasa, menafsirkan, dan mengintrepretasikan, semakin jelas bahwa karakteristik kebudayaan masyarakat beradat Angkola dan Mandailing sudah terbentuk jauh sebelum Provinsi Sumatra Utara terbentuk. Dengan sendirinya berarti sebelum wilayah-wilayah administrasi pemerintahan daerah dalam sistem tata negara di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terbentuk seperti Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Tapanuli Tengah, dan lain-lain muncul.
Hasil Konstruksi Penjajah
Secara genekologi (asal-usul) disebutkan bahwa bangsa Batak berasal dari Pusuk Buhit, tempat dimana Si Raja Batak berada, kemudian keturunannya menyebar ke seluruh pelosok dan membentuk lima sub-etnik Batak seperti Angkola, Mandailing, Toba, Karo, dan Simalungun yang masing-masing menyebar di wilayah berbeda. Tapi, bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Pusuk Buhit merupakan daerah awal manusia yang kini menghuni Provinsi Sumatra Utara, tidak ditemukan kecuali dalam sejumlah mitologi. Sementara mitologi hampir tidak pernah diciptakan tanpa suatu tujuan yang lebih banyak menguntungkan penciptanya.
Mitos genekologi bangsa Batak mulai muncul sejak pertengahan abad ke-19, beberapa tahun setelah Belanda berkuasa. Ketika itu, segala kepentingan Belanda untuk berkuasa, berhadapan dengan realitas budaya masyarakat yang secara antropologi hidup dalam lingkungan sosial tradisional yang memiliki pemimpin-pemimpin dengan kedudukan setara seperti seorang raja. Rakyat sangat patuh terhadap pemimpin mereka, karena posisi seorang pemimpin sangat kuat dipengaruhi nilai-nilai ajaran agama Islam yang mensejajarkan pemimpin sebagai seorang khalifah. Sebagai khalifah, seorang pemimpin akan selalu diposisikan sebagai imam, sementara masyarakat berada dalam kedudukan selaku mukmin.
Sumber: http://catatanantropologi.blogspot.com/2010/01/sipirok-dinamika-masyarakat-batak.html
Masyarakat di Kabupaten Tapanuli Selatan adalah masyarakat beradat Angkola yang terdiri dari beberapa masyarakat marga. Dalam kehidupan social, setiap anggota masyarakat marga memiliki norma-norma yang sama terhadap minat, dimana para anggota berperan serta dalam sebuah sistem peran yang saling terbuka—setiap anggota mengidentifikasi diri satu sama lain sebagai tuntutan dari cita-cita atau harapan mereka; setiap anggota merasa bahwa kelompok tersebut memberikan kepuasan; setiap anggota mengupayakan pencapaian tujuan yang saling berhubungan; setiap anggota memiliki persepsi bersama tentang kesatuan; dan setiap anggota cenderung bertindak dalam pola perilaku sama terhadap lingkungan sekitar.
Sejarah peradaban masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan adalah serentangan kisah gilang-gemilang di masa lalu tentang kekayaan alam yang melimpah, yang memikat hati kolonial untuk mengeruknya hingga ke dasar perut bumi. Kekayaan alam yang mampu menopang kehidupan masyarakat sehingga secara ekonomi hidup lebih sejahtera, kemudian menghasilkan masyarakat yang secara sosiologis mampu membangun sistem harapan (system of hope) yang luar biasa untuk hanya mengejar tiga hal dalam kehidupan: hamoraon (kehormatan), hagabeon (kebahagiaan), dan hasangapon (kekayaan).
Inilah masyarakat beradat Angkola dan beradat Mandailing. Sejarah panjang dan gemilang masyarakat itu dapat ditelusuri dalam tradisi bahasa, yang sejarah bahasanya telah dimiliki sepanjang peradaban masyarakat itu ada. Tidak banyak peradaban manusia yang mampu menghasilkan bahasa yang khas masyarakatnya. Di Indonesia, ada 746 bahasa daerah yang pernah didata oleh Pusat Balai Bahasa Nasional, salah satunya adalah bahasa yang dimiliki masyarakat di Kabupaten Tapanuli Selatan. Bahasa masyarakat ini digolongkan ke dalam sub bahasa Batak, maka dengan sendirinya masyarakat yang memiliki bahasa ini digolongkan sebagai masyarakat beradat Batak, penganut sub-budaya Batak.
Meskipun tradsi bahasa sangat kuat dan dapat menjadi sumber utama dalam menganalisis masyarakat beradat Angkola dan beradat Mandailing, tetapi peran Belanda yang begitu luar biasa dalam mengubah masyarakat tidak bisa diabaikan. Untuk kepentingan penjajahan guna mengeruk semua hasil bumi dan melakukan kristenisasi, Belanda mengdestrukturisasi status social masyarakat dan merekonstruksi status social baru dengan memperkenalkan organisasi-organisasi moderen, sehingga membuat masyarakat beradat Angkola dan beradat Mandailing berubah secara social. Masyarakat yang menghuni Kabupaten Tapanuli Selatan yang ada saat ini merupakan masyarakat hasil konstruksi Belanda.
Khazanah Warisan Tradisi Bahasa
Masyarakat etnik di Kabupaten Tapanuli Selatan adalah masyarakat beradat Angkola dan beradat Mandailing. Kapan persisnya masyarakat adat Angkola dan Mandailing mulai mengenal bahasa dan memiliki aksara? Sulit menyimpulkan secara pasti. Tapi, dari sejumlah hasil penelitian menunjukkan, bahasa masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan berakar pada bahasa Austronesia, sama seperti akar sebagian besar bahasa milik masyarakat etnik yang ada di Indonesia. Akar bahasa Austronesia ini diduga berasal dari daratan Cina selatan.
Sejarah bahasa Austronesia sebagai rumpun bahasa yang banyak dipergunakan di dunia, pertama sekali dipergunakan petani di Taiwan yang tiba di daerah itu antara 5.000 dan 6.000 tahun lalu. Robert Blust, seorang pakar bahasa, menyusun silsilah sub-sub kelompok bahasa Austronesia tingkat tertinggi, dimulai dari bahasa Proto-Austronesia yang berasal dari Taiwan, kemudian mencakup Filipina, Kalimantan, dan Sulawesi, dan akhirnya bercabang dua, yang satu menyebar ke barat: Jawa, Sumatra, dan Semenanjung Melayu; lainnya menyebar ke timur melalui Halmahera ke wilayah Oceania.
Kesimpulan ini diambil setelah membandingkan bahasa-bahasa masyarakat lokal yang ada di sejumlah daerah di kawasan Asia, dimana ada kemiripan antara bahasa daerah yang satu dengan bahasa daerah lainnya. Dari temuan para ahli bahasa yang ada dalam Indonesia Heritage: Bahasa dan Sastra, bisa dibandingkan bahasa dan aksara yang dimiliki masyarakat adat Lampung, Bugis, Sasak, Batak, Palembang, dan beberapa bahasa daerah lain yang ada di Nusantara. Hasilnya, bahasa-bahasa tersebut memiliki kemiripan karena memang berasal dari satu rumpun bahasa yang sama.
Sebab itu, jika dilihat dari sejarah bahasa, maka masyarakat beradat Angkola dan Mandailing di Kabupaten Tapanuli Selatan merupakan masyarakat yang secara tradisional memiliki persamaan identitas dengan bangsa-bangsa lain yang ada di Asia. Berarti, secara genekologi masyarakat beradat Angkola dan Mandailing memiliki hubungan dengan bangsa-bangsa lain di kawasan Asia. Kesimpulan ini sangat beralasan apabila mengacu pada sejarah asal mula manusia yang dating ke Indonesia, bahwa mereka diperkirakan berasal dari daratan Indo China (diperkirakan di kawasan Taiwan), yang melakukan perpindahan secara besar-besaran ke seluruh wilayah Asia termasuk ke Indonesia.
Pada awalnya, para pengungsi memiliki akar bahasa yang sama yang disebut Austronesia. Namun, akar bahasa Austronesia itu mengalami perubahan di kalangan para pengungsi yang terpecah-pecah sesuai daerah penyebaran masing-masing, akibat penyesuaian dengan lingkungan dari tiap-tiap masyarakat pemilik bahasa tersebut. Sebab itu, kemiripan bahasa dan aksara Lampung, misalnya, dengan bahasa Bugis dan Batak, bukan berarti ketiga masyarakat budaya ini memiliki tata nilai dan norma perilaku budaya yang sama. Kesamaan identitas berupa bahasa tidak menyebabkan terjadinya pemahaman yang sama atas makna dalam kata sehingga fungsi-fungsi bahasa bagi masyarakat adat tersebut menjadi berbeda antara satu dengan lainnya.
Dalam berbagai cerita mitos, bahasa diperoleh manusia langsung dari Tuhan. Pendapat ini bisa dimaklumi dengan memahami premis pertama dari mitos. Bahwa mitos adalah sebuah cerita yang memberikan pedoman dan arah tertentu kepada sekelompok orang. Fungsi utama mitos adalah menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-keuatan ajaib, tetapi mitos tidak memberikan bahan informasi mengenai kekuatan-kekuatan itu melainkan membantu manusia agar bisa menghayati daya-daya itu sebagai kekuatan-kekuatan yang dapat memengaruhi alam dan kehidupan komunitasnya.
Dalam pemikiran filsafat, manusia dilihat sebagai mahluk yang selalu berkomunikasi. Pada tahap awal kebudayaan manusia, termasuk manusia di Kabupaten Tapanuli Selatan, mereka adalah mahluk yang mampu berbicara. Dengan kemampuan itulah mereka beraktivitas. Mula-mula aktivitas itu diarahkan untuk menamai hal-hal yang ada di lingkungannya, kemudian dipergunakan untuk berinteraksi dengan individu-individu di lingkungannya, yang akhirnya membentuk sebuah komunitas masyarakat. Komunitas ini diikat oleh tradisi yang sama, pemahaman yang serupa, dan pengetahuan atas hal-hal yang disepakati sebagai konvensi. Itulah sistem budaya yang kemudian mengatur semua penganutnya hingga terbentuk sebuah tatanan yang diarahkan untuk mengakomodasi kepentingan semua anggota komunitas.
Di dalam ilmu sosial-budaya apabila mengkaji fenomena sosial dengan perspektif fungsi, pastilah akan berpijak pada paradigma pendekatan fungsionalisme. Sebagai perspektif teoritik dalam antropologi, fungsionalisme bertumpu pada analogi dengan organisme/makhluk hidup. Artinya, semua sistem budaya yang ada pada sebuah komunitas masyarakat memiliki syarat-syarat fungsional, atau sistem budaya memiliki kebutuhan sosial yang harus dipenuhi agar sistem sosial-budaya dapat bertahan hidup. Apabila kebutuhan itu tidak terpenuhi maka sistem sosial-budaya itu akan mengalami disintegrasi dan mati.
Kita bisa memahami bahasa sebagai sistem tanda. Bahasa melambangkan dinamika kehidupan masyarakat pemiliknya. Dengan bahasa pula masyarakat dapat menjalankan aktivitas yang bermakna di dunia, terutama dalam fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Pada kulit luarnya, bahasa memang ungkapan pikiran dan perasaan manusia, tetapi pada intinya bahasa adalah pengorganisasian dunia: dimulai dengan pengorganisasian dunia kognitif yang bergerak ke pengorganisasian dunia luar. Jika bahasa dilihat sebagai pengorganisasian dunia, maka kebudayaan wujud dari filsafat hidup manusia dalam mengorganisir dunia.
Pengertian bahasa mencakup isi keteraturan dan struktur. Bahasa sebagai asas pengaturan untuk menata chaos (ketiadaan aturan atau the absent of order) menjadi logos (keteraturan atau the present of order). Keteraturan itu harus didukung kepastian sebagai dasar dan patokan yang menduduki tempat tertinggi dalam struktur bahasa. Nalarlah yang menjadi puncaknya. Lalu, kata-kata menjadi elemen-elemen yang membangun struktur bahasa. Maka, hiduplah manusia dengan kerangka rujukan (frame of reference) dalam realitas yang ditertibkan logos, nalar, dan kata. Itulah kehidupan manusia yang manusiawi. Karena itu, bahasa berhubungan erat dengan sistem social-budaya lainnya sehingga terjaga integrasi sistem. Bahasa bagi masyarakat etnik di Kabupaten Tapanuli Selatan berfungsi sebagai pemersatu sekaligus menjadi identitas masyarakat pemiliknya.
Sebagai pemersatu, bahasa memungkinkan terjalin komunikasi antara setiap anggota komunitas. Komunikasi merupakan kegiatan manusia untuk menyampaikan kepada orang lain apa yang menjadi pikiran, harapan, atau pengalamannya. Ini mengandung makna dalam kehidupan sosial, bahwa komunikasi memunyai kemampuan untuk mengubah masyarakat. Sebaliknya, individu dapat juga menyesuaikan diri dengan kelompoknya melalui komunikasi. Komunikasi menjadi pendorong utama bagi terciptanya sebuah kelompok.
Apabila bahasa sebagai pemersatu masyarakat tidak mampu memberikan fungsinya, maka akan terbayangkan adanya kegoncangan sistem sosial-budaya. Komunikasi antara anggota komunitas tidak akan terjalin, sehingga aktivitas setiap anggota komunitas tidak akan mampu membentuk sebuah kelompok. Setiap anggota komunitas berubaha menjadi individu yang tak saling berhubungan, tidak ada kohesivitas yang mampu menyatukan setiap anggota.
Dalam hal bahasa sebagai identitas, maka bahasa yang dimiliki masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan menjadi ciri atau tanda yang membedakan dengan masyarakat di daerah lain. Identitas ini tidak stabil karena selalu berproses lewat wacana untuk berkomunikasi, sehingga identitas selalu terjaga, dinamis, berubah, atau malah musnah. Berawal dari merosotnya atau musnahnya kebanggaan akan identitas yang berupa bahasa, maka sistem sosial yang mengkristalisasi dalam laku bahasa itu akan ikut hilang.
Berangkat dari bahasa sebagai identitas, masyarakat Kabupaten Tapanuli Selatan sudah berperadaban sejak lama, sepanjang masyarakat itu ada. Peradaban masyarakat ditandai dengan adanya nilai-nilai tradisi dan norma-norma budaya yang diwariskan kepada generasi saat ini, yang keseluruhannya menyimpan tatanan hidup dan pola laku masyarakat awal. Tatanan hidup dan pola laku masyarakat awal di Kabupaten Tapanuli Selatan tidak sepenuhnya luntur dari jiwa masyarakat saat ini. Sebagian besar masih tertanam utuh dan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat.
Secara sosiologi, yang dimaksud masyarakat sangat banyak defenisinya. Karena itu, para ahli lebih melihat pada ciri-cirinya, bahwa masyarakat terdiri dari manusia yang hidup bersama, yang secara teoritis berjumlah dua orang dalam ukuran minimalnya, dan mereka saling bergaul antara satu dengan lainnya dalam kurun waktu yang cukup lama. Masyarakat juga ditentukan oleh kesadaran mereka untuk berhubungan diantara mereka sehingga membentuk satu kesatuan yang kemudian menghasilkan kebudayaan.
Masyarakat adat merupakan kelompok sosial yang berbudaya, memiliki kebiasaan atau tradisi dalam bentuk perbuatan, tindakan, maupun ucapan yang memiliki arti khusus bagi warganya. Bagi masyarakat berbudaya, tindakan-tindakan mereka dilandasi nilai-nilai sosial dan religius yang berperan dalam mengarahkan perilaku individu maupun sosial, sehingga indvidu dan kelompok berinteraksi dalam membangun sebuah harmoni.
Masyarakat adat Angkola maupun Mandailing merupakan mahluk berbudaya. Tiap-tiap kelompok dari masyarakat adat Angkola dan Mandailing, diatur oleh sistem sosial masing-masing, yang antara keduanya ada perbedaan sangat signifikan meskipun pada tingkat kognitif dan aflikatif banyak kemiripan dari pola laku keseharian.
Suatu sistem merupakan suatu keseluruhan terangkai, yang mencakup unsur-unsur, bagian-bagian, konsistensinya, kelengkapan, dan konsepsi-konsepsi atau pengertian-pengertian dasarnya. Sistem sosial menunjuk pada suatu keseluruhan terangkai, yang menyangkut hubungan antara manusia dengan kelompok, yang tercakup dalam pengertian interaksi sosial.
Setiap manusia memiliki apa yang dimaksud dengan perilaku (behaviour), yakni suatu totalitas dari gerak motoris, persepsi, dan fungsi kognitif dari manusia. Salah satu unsur dari perilaku adalah gerak sosial, yakni suatu gerak yang terikat oleh empat syarat, yakni: (1) diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu; (2) terjadi pada situasi tertentu; (3) diatur oleh kaidah-kaidah tertentu; dan (4) terdorong oleh motivasi-motivasi tertentu.
Setiap gerak sosial merupakan suatu sistem yang mencakup sub-sistem budaya, sub-sistem sosial, sub-sistem kepribadian, dan sub-sistem organisme perilaku. Dalam perspektif filsafat social budaya, gerak social suatu masyarakat merupakan sebuah upaya untuk mewujudkan cita-cita atau tujuan yang telah ditanamkan di dalam dirinya sejak lama, yakni yang berkaitan dengan gambaran masa depan yang cemerlang.
Awalnya, masyarakat adat Angkola dan Mandailing menyebar di wilayah-wilayah yang berbeda. Masyarakat beradat Angkola dominan menetap di wilayah Utara dari Kabupaten Tapanuli Selatan, mulai dari Kecamatan Batangtoru, Sipirok, Arse, Sipirok Dolok Hole, Huristak, Gunungtua, Dolok, sampai Barumun. Sedangkan masyarakat beradat Mandailing menyebar secara dominan di wilayah Selatan dari Kabupaten Tapanuli Selatan: Panyabungan, Kotanopan, Natal, dan Muarasipongi.
Batas-batas budaya penyebaran dominan dari kedua masyarakat adat ini, oleh Belanda dipertegas menjadi batas teritorial administrasi pemerintahan. Belanda mengasumsikan, dengan memposisikan setiap masyarakat adat Angkola maupun Mandailing ke dalam wilayah teritorial administrasi pemerintahan yang berbeda, kedua masyarakat awal Kabupaten Tapanuli Selatan ini akan terbagi ke dalam dua lingkungan budaya yang berbeda. Masing-masing perbedaan dipertajam Belanda untuk melemahkan persatuan antara komunitas masyarakat etnik, sehingga rencana menancapkan kekuasaan bisa berjalan dengan mudah.
Namun, politik memecah masyarakat adat Angkola dengan masyarakat adat Mandailing ke dalam dua wilayah territorial administrasi pemerintahan, tidak membuat tradisi budaya kedua masyarakat adat menjadi berbeda. Perbedaan kedua masyarakat adat ini hanya pada dialek bahasa, namun tidak pada subtansi bahasa itu sendiri. Dalam hal komunikasi, kedua masyarakat adat ini tetap terjalin, karena mereka memiliki pemahaman dan pengertian yang sama atas simbol-simbol bahasa. Karena itu, hubungan social di antara kedua masyarakat adat ini tidak pernah putus. Malah, hubungan social itu terjalin erat lewat jalur perkawinan antara masyarakat adat, kemudian mereka diikat oleh nilai-nilai adat yang sulit terceraikan.
Nilai-nilai social dan norma-norma perilaku budaya masyarakat, terintegrasi antara masyarakat adat Angkola dengan adat Mandailing di dalam sistem social yang sama, membuat kedua masyarakat adat ini senantiasa bisa menjaga harmoni. Politik penumbuhan stratifikasi sosial Belanda, meskipun mampu melahirkan individu-individu dalam masyarakat adat Angkola maupun Mandailing yang sangat bangga atas status barunya sebagai wakil pemerintah pemerintah Belanda, tapi individu itu menghadapi kesulitan saat berhadaan dengan masyarakat adat ketika menyampaikan kebijakan-kebijakan Belanda.
Politik Belanda dimana masyarakat adat yang dijajah diajak berpartisipasi dalam struktur penjajahan sebagai wakil pemerintah kolonial, sehingga individu di dalam lingkungan masyarakat adat dibentur-benturkan. Namun, Belanda tidak menemukan kelemahan dari masyarakat adat yang bisa dilestarikan sebagai alat politik, karena diferensiasi budaya antara masyarakat adat Angkola dengan adat Mandailing hampir tidak ada. Secara politik masyarakat sudah hidup dalam lingkungan demokrasi yang mengejawantah pada semangat Dalihan Na Tolu.
Di dalam tradisi bahasa, masyarakat adat Angkola dan Mandailing menemukan bahwa segala dinamika kebudayaan masyarakatnya, berikut segenap nilai-nilai luhur dan filsafat hidupnya, terentang dengan jelas. Produk-produk kebudayaan mereka bisa berupa cerita rakyat (foklor), ragam sastra lisan, tradisi, adat, sampai mitologi menyimpan gerak sosial mereka dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam produk-produk bahasa tersebut, ditemukan peradaban masyarakat adat Angkola dan Mandailing lengkap dengan pandangan dunia (weltansichten) dan pengetahuan.
Dengan memelajari bahasa, menafsirkan, dan mengintrepretasikan, semakin jelas bahwa karakteristik kebudayaan masyarakat beradat Angkola dan Mandailing sudah terbentuk jauh sebelum Provinsi Sumatra Utara terbentuk. Dengan sendirinya berarti sebelum wilayah-wilayah administrasi pemerintahan daerah dalam sistem tata negara di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terbentuk seperti Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Tapanuli Tengah, dan lain-lain muncul.
Hasil Konstruksi Penjajah
Secara genekologi (asal-usul) disebutkan bahwa bangsa Batak berasal dari Pusuk Buhit, tempat dimana Si Raja Batak berada, kemudian keturunannya menyebar ke seluruh pelosok dan membentuk lima sub-etnik Batak seperti Angkola, Mandailing, Toba, Karo, dan Simalungun yang masing-masing menyebar di wilayah berbeda. Tapi, bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Pusuk Buhit merupakan daerah awal manusia yang kini menghuni Provinsi Sumatra Utara, tidak ditemukan kecuali dalam sejumlah mitologi. Sementara mitologi hampir tidak pernah diciptakan tanpa suatu tujuan yang lebih banyak menguntungkan penciptanya.
Mitos genekologi bangsa Batak mulai muncul sejak pertengahan abad ke-19, beberapa tahun setelah Belanda berkuasa. Ketika itu, segala kepentingan Belanda untuk berkuasa, berhadapan dengan realitas budaya masyarakat yang secara antropologi hidup dalam lingkungan sosial tradisional yang memiliki pemimpin-pemimpin dengan kedudukan setara seperti seorang raja. Rakyat sangat patuh terhadap pemimpin mereka, karena posisi seorang pemimpin sangat kuat dipengaruhi nilai-nilai ajaran agama Islam yang mensejajarkan pemimpin sebagai seorang khalifah. Sebagai khalifah, seorang pemimpin akan selalu diposisikan sebagai imam, sementara masyarakat berada dalam kedudukan selaku mukmin.
Sumber: http://catatanantropologi.blogspot.com/2010/01/sipirok-dinamika-masyarakat-batak.html
Minggu, 03 April 2011
Pulau-pulau Indonesia yang Sangat Kaya Raya Sejak Masa Peradaban Kuno
Masa lampau Indonesia sangat kaya raya. Ini dibuktikan oleh informasi dari berbagai sumber kuno. Kali ini kami akan membahas kekayaan tiap pulau yang ada di Indonesia. Pulau-pulau itu akan kami sebutkan menjadi tujuh bagian besar yaitu Sumatera, Jawa, Kepulauan Sunda kecil, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan Papua.
Sumatera - Pulau Emas
Dalam berbagai prasasti, pulau Sumatera disebut dengan nama Sansekerta: Suwarnadwipa (“pulau emas”) atau Suwarnabhumi (“tanah emas”). Nama-nama ini sudah dipakai dalam naskah-naskah India sebelum Masehi. Sumatera juga dikenal sebagai pulau Andalas.
Pada masa Dinasti ke-18 Fir'aun di Mesir (sekitar 1.567SM-1.339SM), di pesisir barat pulau sumatera telah ada pelabuhan yang ramai, dengan nama Barus. Barus (Lobu Tua - daerah Tapanuli) diperkirakan sudah ada sejak 3000 tahun sebelum Masehi. Barus dikenal karena merupakan tempat asal kapur barus. Ternyata kamper atau kapur barus digunakan sebagai salah satu bahan pengawet mummy Fir'aun Mesir kuno.
Di samping Barus, di Sumatera terdapat juga kerajaan kuno lainnya. Sebuah manuskrip Yahudi Purba menceritakan sumber bekalan emas untuk membina negara kota Kerajaan Nabi Sulaiman diambil dari sebuah kerajaan purba di Timur Jauh yang dinamakan Ophir. Kemungkinan Ophir berada di Sumatera Barat. Di Sumatera Barat terdapat gunung Ophir. Gunung Ophir (dikenal juga dengan nama G. Talamau) merupakan salah satu gunung tertinggi di Sumatera Barat, yang terdapat di daerah Pasaman. Kabarnya kawasan emas di Sumatera yang terbesar terdapat di Kerajaan Minangkabau. Menurut sumber kuno, dalam kerajaan itu terdapat pegunungan yang tinggi dan mengandung emas. Konon pusat Kerajaan Minangkabau terletak di tengah-tengah galian emas. Emas-emas yang dihasilkan kemudian diekspor dari sejumlah pelabuhan, seperti Kampar, Indragiri, Pariaman, Tikus, Barus, dan Pedir. Di Pulau Sumatera juga berdiri Kerajaan Srivijaya yang kemudian berkembang menjadi Kerajaan besar pertama di Nusantara yang memiliki pengaruh hingga ke Thailand dan Kamboja di utara, hingga Maluku di timur.
Kini kekayaan mineral yang dikandung pulau Sumatera banyak ditambang. Banyak jenis mineral yang terdapat di Pulau Sumatera selain emas. Sumatera memiliki berbagai bahan tambang, seperti batu bara, emas, dan timah hitam. Bukan tidak mungkin sebenarnya bahan tambang seperti emas dan lain-lain banyak yang belum ditemukan di Pulau Sumatera. Beberapa orang yakin sebenarnya Pulau Sumatera banyak mengandung emas selain dari apa yang ditemukan sekarang. Jika itu benar maka Pulau Sumatera akan dikenal sebagai pulau emas kembali.
Jawa - Pulau Padi
Dahulu Pulau Jawa dikenal dengan nama JawaDwipa. JawaDwipa berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti "Pulau Padi" dan disebut dalam epik Hindu Ramayana. Epik itu mengatakan "Jawadwipa, dihiasi tujuh kerajaan, Pulau Emas dan perak, kaya dengan tambang emas", sebagai salah satu bagian paling jauh di bumi. Ahli geografi Yunani, Ptolomeus juga menulis tentang adanya “negeri Emas” dan “negeri Perak” dan pulau-pulau, antara lain pulau “”Iabadiu” yang berarti “Pulau Padi”.
Ptolomeus menyebutkan di ujung barat Iabadiou (Jawadwipa) terletak Argyre (kotaperak). Kota Perak itu kemungkinan besar adalah kerajaan Sunda kuno, Salakanagara yang terletak di barat Pulau Jawa. Salakanagara dalam sejarah Sunda (Wangsakerta) disebut juga Rajatapura. Salaka diartikan perak sedangkan nagara sama dengan kota, sehingga Salakanagara banyak ditafsirkan sebagai Kota perak.
Di Pulau Jawa ini juga berdiri kerajaan besar Majapahit. Majapahit tercatat sebagai kerajaan terbesar di Nusantara yang berhasil menyatukan kepulauan Nusantara meliputi Sumatra, semenanjung Malaya, Borneo, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, dan sebagian kepulauan Filipina. Dalam catatan Wang Ta-yuan, komoditas ekspor Jawa pada saat itu ialah lada, garam, kain, dan burung kakak tua. Mata uangnya dibuat dari campuran perak, timah putih, timah hitam, dan tembaga. Selain itu, catatan kunjungan biarawan Roma tahun 1321, Odorico da Pordenone, menyebutkan bahwa istana Raja Jawa penuh dengan perhiasan emas, perak, dan permata.
Menurut banyak pakar, pulau tersubur di dunia adalah Pulau Jawa. Hal ini masuk akal, karena Pulau Jawa mempunyai konsentrasi gunung berapi yang sangat tinggi. Banyak gunung berapi aktif di Pulau Jawa. Gunung inilah yang menyebabkan tanah Pulau Jawa sangat subur dengan kandungan nutrisi yang di perlukan oleh tanaman.
Raffles pengarang buku The History of Java merasa takjub pada kesuburan alam Jawa yang tiada tandingnya di belahan bumi mana pun. “Apabila seluruh tanah yang ada dimanfaatkan,” demikian tulisnya, “bisa dipastikan tidak ada wilayah di dunia ini yang bisa menandingi kuantitas, kualitas, dan variasi tanaman yang dihasilkan pulau ini.”
Kini pulau Jawa memasok 53 persen dari kebutuhan pangan Indonesia. Pertanian padi banyak terdapat di Pulau Jawa karena memiliki kesuburan yang luar biasa. Pulau Jawa dikatakan sebagai lumbung beras Indonesia. Jawa juga terkenal dengan kopinya yang disebut kopi Jawa. Curah hujan dan tingkat keasaman tanah di Jawa sangat pas untuk budidaya kopi. Jauh lebih baik dari kopi Amerika Latin ataupun Afrika.
Hasil pertanian pangan lainnya berupa sayur-sayuran dan buah-buahan juga benyak terdapat di Jawa, misalnya kacang tanah, kacang hijau, daun bawang, bawang merah, kentang, kubis, lobak, petsai, kacang panjang, wortel, buncis, bayam, ketimun, cabe, terong, labu siam, kacang merah, tomat, alpokat, jeruk, durian, duku, jambu biji, jambu air, jambu bol, nenas, mangga, pepaya, pisang, sawo, salak,apel, anggur serta rambutan. Bahkan di Jawa kini dicoba untuk ditanam gandum dan pohon kurma. Bukan tidak mungkin jika lahan di Pulau Jawa dipakai dan diolah secara maksimal untuk pertanian maka Pulau Jawa bisa sangat kaya hanya dari hasil pertanian.
Kepulauan Sunda kecil (Bali, NTB dan NTT) - Kepulauan Wisata
Ptolemaeus menyebutkan, ada tiga buah pulau yang dinamai Sunda yang terletak di sebelah timur India. Berdasarkan informasi itu kemudian ahli-ahli ilmu bumi Eropa menggunakan kata Sunda untuk menamai wilayah dan beberapa pulau di timur India. Sejumlah pulau yang kemudian terbentuk di dataran Sunda diberi nama dengan menggunakan istilah Sunda pula yakni Kepulauan Sunda Besar dan Kepulauan Sunda Kecil. Kepulauan Sunda Besar ialah himpunan pulau besar yang terdiri dari Sumatera, Jawa, Madura dan Kalimantan. Sedangkan Sunda Kecil merupakan gugusan pulau Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, dan Timor.
Daerah Kepulauan Sunda kecil ini dikenal sebagai daerah wisata karena keindahan alamnya yang menakjubkan. Sejak dulu telah ada yang berwisata ke daerah ini. Perjalanan Rsi Markandiya sekitar abad 8 dari Jawa ke Bali, telah melakukan perjalanan wisata dengan membawa misi-misi keagaman. Demikian pula Empu Kuturan yang mengembangkan konsep Tri Sakti di Bali datang sekitar abad 11. Pada tahun 1920 wisatawan dari Eropa mulai datang ke Bali. Bali di Eropa dikenal juga sebagai the Island of God.
Di Tempat lain di Kepulauan Sunda Kecil tepatnya di daerah Nusa Tenggara Barat dikenal dari hasil ternaknya berupa kuda, sapi, dan kerbau. Kuda Nusa tenggara sudah dikenal dunia sejak ratusan tahun silam. Abad 13 M Nusa Tenggara Barat telah mengirim kuda-kuda ke Pulau Jawa. Nusa Tenggara Barat juga dikenal sebagai tempat pariwisata raja-raja. Raja-raja dari kerajaan Bali membangun Taman Narmada pada tahun 1727 M di daerah Pulau Lombok untuk melepas kepenatan sesaat dari rutinitas di kerajaan.
Daerah Sunda Kecil yang tidak kalah kayanya adalah Nusa Tenggara Timur, karena di daerah ini terdapat kayu cendana yang sangat berharga. Cendana adalah tumbuhan asli Indonesia yang tumbuh di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Cendana dari Nusa Tenggara Timur telah diperdagangkan sejak awal abad masehi. Sejak awal abad masehi, banyak pedagang dari wilayah Indonesia bagian barat dan Cina berlayar ke berbagai wilayah penghasil cendana di Nusa Tenggara Timur terutama Pulau Sumba dan Pulau Timor. Konon Nabi Sulaiman memakai cendana untuk membuat tiang-tiang dalam bait Sulaiman, dan untuk alat musik. Nabi Sulaiman mengimpor kayu ini dari tempat-tempat yang jauh yang kemungkinan cendana tersebut berasal dari Nusa Tenggara Timur.
Kini Kepulauan Sunda kecil ini merupakan tempat pariwisata yang terkenal di dunia. Bali merupakan pulau terindah di dunia. Lombok juga merupakan salah satu tempat terindah di dunia. Sementara itu di Nusa tenggara Timur terdapat Pulau yang dihuni binatang purba satu-satunya di dunia yang masih hidup yaitu komodo. Kepulauan Sunda kecil merupakan tempat yang misterius dan sangat menawan. Kepulauan ini bisa mendapat banyak kekayaan para pelancong dari seluruh dunia jika dikelola secara maksimal.
Kalimantan - Pulau Lumbung energi
Dahulu nama pulau terbesar ketiga di dunia ini adalah Warunadwipa yang artinya Pulau Dewa Laut. Kalimantan dalam berita-berita China (T’ai p’ing huan yu chi) disebut dengan istilah Chin li p’i shih. Nusa Kencana" adalah sebutan pulau Kalimantan dalam naskah-naskah Jawa Kuno. Orang Melayu menyebutnya Pulau Hujung Tanah (P'ulo Chung). Borneo adalah nama yang dipakai oleh kolonial Inggris dan Belanda.
Pada zaman dulu pedagang asing datang ke pulau ini mencari komoditas hasil alam berupa kamfer, lilin dan sarang burung walet melakukan barter dengan guci keramik yang bernilai tinggi dalam masyarakat Dayak. Para pendatang India maupun orang Melayu memasuki muara-muara sungai untuk mencari lahan bercocok tanam dan berhasil menemukan tambang emas dan intan di Pulau ini.
Di Kalimantan berdiri kerajaan Kutai. Kutai Martadipura adalah kerajaan tertua bercorak Hindu di Nusantara. Nama Kutai sudah disebut-sebut sejak abad ke 4 (empat) pada berita-berita India secara tegas menyebutkan Kutai dengan nama “Quetaire” begitu pula dengan berita Cina pada abat ke 9 (sembilan) menyebut Kutai dengan sebutan “Kho They” yang berarti kerajaan besar. Dan pada abad 13 (tiga belas) dalam kesusastraan kuno Kitab Negara Kertagama yang disusun oleh Empu Prapanca ditulis dengan istilah “Tunjung Kute”. Peradaban Kutai masa lalu inilah yang menjadi tonggak awal zaman sejarah di Indonesia.
Kini Pulau Kalimantan merupakan salah satu lumbung sumberdaya alam di Indonesia memiliki beberapa sumberdaya yang dapat dijadikan sebagai sumber energi, diantaranya adalah batubara, minyak, gas dan geothermal. Hutan Kalimantan mengandung gambut yang dapat digunakan sebagai sumber energi baik untuk pembangkit listrik maupun pemanas sebagai pengganti batu bara. Yang luar biasa ternyata Kalimantan memiliki banyak cadangan uranium yang bisa dipakai untuk pembangkit listrik tenaga nuklir. Disamping itu Kalimantan juga memiliki potensi lain yakni sebagai penyedia sumber energi botani atau terbaharui. Sumber energi botani atau bioenergi ini adalah dari CPO sawit. Pulau Kalimantan memang sangat kaya.
Sulawesi - Pulau besi
Orang Arab menyebut Sulawesi dengan nama Sholibis. Orang Belanda menyebut pulau ini dengan nama Celebes. Pulau ini telah dihuni oleh manusia sejak 30.000 tahun yang lalu terbukti dengan adanya peninggalan purba di Pulau ini. Contohnya lokasi prasejarah zaman batu Lembah Besoa.
Nama Sulawesi konon berasal dari kata ‘Sula’ yang berarti pulau dan ‘besi’. Pulau Sulawesi sejak dahulu adalah penghasil bessi (besi), sehingga tidaklah mengherankan Ussu dan sekitar danau Matana mengandung besi dan nikkel. Di sulawesi pernah berdiri Kerajaan Luwu yang merupakan salah satu kerajaan tertua di Sulawesi. Wilayah Luwu merupakan penghasil besi. Bessi Luwu atau senjata Luwu (keris atau kawali) sangat terkenal akan keampuhannya, bukan saja di Sulawesi tetapi juga di luar Sulawesi. Dalam sejarah Majapahit, wilayah Luwu merupakan pembayar upeti kerajaan, selain dikenal sebagai pemasok utama besi ke Majapahit, Maluku dan lain-lain. Menurut catatan yang ada, sejak abad XIV Luwu telah dikenal sebagai tempat peleburan besi.
Di Pulau Sulawesi ini juga pernah berdiri Kerajaan Gowa Tallo yang pernah berada dipuncak kejayaan yang terpancar dari Sombaopu, ibukota Kerajaan Gowa ke timur sampai ke selat Dobo, ke utara sampai ke Sulu, ke barat sampai ke Kutai dan ke selatan melalui Sunda Kecil, diluar pulau Bali sampai ke Marege (bagian utara Australia). Ini menunjukkan kekuasaan yang luas meliputi lebih dari 2/3 wilayah Nusantara.
Selama zaman yang makmur akan perdagangan rempah-rempah pada abad 15 sampai 19, Sulawesi sebagai gerbang kepulauan Maluku, pulau yang kaya akan rempah-rempah. Kerajaan besar seperti Makasar dan Bone seperti yang disebutkan dalam sejarah Indonesia timur, telah memainkan peranan penting. Pada abad ke 14 Masehi, orang Sulawesi sudah bisa membuat perahu yang menjelajahi dunia. Perahu pinisi yang dibuat masyarakat Bugis pada waktu itu sudah bisa berlayar sampai ke Madagaskar di Afrika, suatu perjalanan mengarungi samudera yang memerlukan tekad yang besar dan keberanian luar biasa. Ini membuktikan bahwa suku Bugis memiliki kemampuan membuat perahu yang mengagumkan, dan memiliki semangat bahari yang tinggi. Pada saat yang sama Vasco da Gama baru memulai penjelajahan pertamanya pada tahun 1497 dalam upaya mencari rempah-rempah, dan menemukan benua-benua baru di timur, yang sebelumnya dirintis Marco Polo.
Sampai saat ini Sulawesi sangat kaya akan bahan tambang meliputi besi, tembaga, emas, perak, nikel, titanium, mangan semen, pasir besi/hitam, belerang, kaolin dan bahan galian C seperti pasir, batu, krikil dan trass. Jika saja dikelola dengan baik demi kemakmuran rakyat maka menjadi kayalah seluruh orang Sulawesi.
Maluku - Kepulauan rempah-rempah
Maluku memiliki nama asli "Jazirah al-Mulk" yang artinya kumpulan/semenanjung kerajaan yang terdiri dari kerajaan-kerajaan kecil. Maluku dikenal dengan kawasan Seribu Pulau serta memiliki keanekaragaman sosial budaya dan kekayaan alam yang berlimpah. Orang Belanda menyebutnya sebagai ‘the three golden from the east’ (tiga emas dari timur) yakni Ternate, Banda dan Ambon. Sebelum kedatangan Belanda, penulis dan tabib Portugis, Tome Pirez menulis buku ‘Summa Oriental’ yang telah melukiskan tentang Ternate, Ambon dan Banda sebagai ‘the spices island’.
Pada masa lalu wilayah Maluku dikenal sebagai penghasil rempah-rempah seperti cengkeh dan pala. Cengkeh adalah rempah-rempah purbakala yang telah dikenal dan digunakan ribuan tahun sebelum masehi. Pohonnya sendiri merupakan tanaman asli kepulauan Maluku (Ternate dan Tidore), yang dahulu dikenal oleh para penjelajah sebagai Spice Islands.
Pada 4000 tahun lalu di kerajaan Mesir, Fir’aun dinasti ke-12, Sesoteris III. Lewat data arkeolog mengenai transaksi Mesir dalam mengimpor dupa, kayu eboni, kemenyan, gading, dari daratan misterius tempat “Punt” berasal. Meski dukungan arkeologis sangat kurang, negeri “Punt” dapat diidentifikasi setelah Giorgio Buccellati menemukan wadah yang berisi benda seperti cengkih di Efrat tengah. Pada masa 1.700 SM itu, cengkih hanya terdapat di kepulauan Maluku, Indonesia. Pada abad pertengahan (sekitar 1600 Masehi) cengkeh pernah menjadi salah satu rempah yang paling popular dan mahal di Eropa, melebihi harga emas.
Selain cengkeh, rempah-rempah asal Maluku adalah buah Pala. Buah Pala (Myristica fragrans) merupakan tumbuhan berupa pohon yang berasal dari kepulauan Banda, Maluku. Akibat nilainya yang tinggi sebagai rempah-rempah, buah dan biji pala telah menjadi komoditi perdagangan yang penting pada masa Romawi. Melihat mahalnya harga rempah-rempah waktu itu banyak orang Eropa kemudian mencari Kepulauan rempah-rempah ini. Sesungguhnya yang dicari Christoper Columbus ke arah barat adalah jalan menuju Kepulauan Maluku, ‘The Island of Spices’ (Pulau Rempah-rempah), meskipun pada akhirnya Ia justru menemukan benua baru bernama Amerika. Rempah-rempah adalah salah satu alasan mengapa penjelajah Portugis Vasco Da Gama mencapai India dan Maluku.
Kini sebenarnya Maluku bisa kembali berjaya dengan hasil pertaniannya jika terus dikembangkan dengan baik. Maluku bisa kaya raya dengan hasil bumi dan lautnya.
Papua - Pulau surga
Papua adalah pulau terbesar kedua di dunia. Pada sekitar Tahun 200 M , ahli Geography bernama Ptolamy menyebutnya dengan nama LABADIOS. Pada akhir tahun 500 M, pengarang Tiongkok bernama Ghau Yu Kua memberi nama TUNGKI, dan pada akhir tahun 600 M, Kerajaan Sriwijaya menyebut nama Papua dengan menggunakan nama JANGGI. Tidore memberi nama untuk pulau ini dan penduduknya sebagai PAPA-UA yang sudah berubah dalam sebutan menjadi PAPUA. Pada tahun 1545, Inigo Ortiz de Retes memberi nama NUEVA GUINEE dan ada pelaut lain yang memberi nama ISLA DEL ORO yang artinya Pulau Emas. Robin Osborne dalam bukunya, Indonesias Secret War: The Guerilla Struggle in Irian Jaya (1985), menjuluki provinsi paling timur Indonesia ini sebagai surga yang hilang.
Tidak diketahui apakah pada peradaban kuno sebelum masehi di Papua telah terdapat kerajaan. Bisa jadi zaman dahulu telah terdapat peradaban maju di Papua. Pada sebuah konferensi tentang lampu jalan dan lalulintas tahun 1963 di Pretoria (Afrika Selatan), C.S. Downey mengemukakan tentang sebuah pemukiman terisolir di tengah hutan lebat Pegunungan Wilhelmina (Peg. Trikora) di Bagian Barat New Guinea (Papua) yang memiliki sistem penerangan maju. Para pedagang yang dengan susah payah berhasil menembus masuk ke pemukiman ini menceritakan kengeriannya pada cahaya penerangan yang sangat terang benderang dari beberapa bulan yang ada di atas tiang-tiang di sana. Bola-bola lampu tersebut tampak secara aneh bersinar setelah matahari mulai terbenam dan terus menyala sepanjang malam setiap hari. Kita tidak tahu akan kebenaran kisah ini tapi jika benar itu merupakan hal yang luar biasa dan harus terus diselidiki.
Papua telah dikenal akan kekayaan alamnya sejak dulu. Pada abad ke-18 Masehi, para penguasa dari kerajaan Sriwijaya, mengirimkan persembahan kepada kerajaan China. Di dalam persembahan itu terdapat beberapa ekor burung Cendrawasih, yang dipercaya sebagai burung dari taman surga yang merupakan hewan asli dari Papua. Dengan armadanya yang kuat Sriwijaya mengunjungi Maluku dan Papua untuk memperdagangkan rempah – rempah, wangi – wangian, mutiara dan bulu burung Cenderawasih. Pada zaman Kerajaan Majapahit sejumlah daerah di Papua sudah termasuk dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Pada abad XVI Pantai Utara sampai Barat daerah Kepala Burung sampai Namatota ( Kab.Fak-fak ) disebelah Selatan, serta pulau – pulau disekitarnya menjadi daerah kekuasaan Sultan Tidore.
Tanah Papua sangat kaya. Tembaga dan Emas merupakan sumber daya alam yang sangat berlimpah yang terdapat di Papua. Papua terkenal dengan produksi emasnya yang terbesar di dunia dan berbagai tambang dan kekayaan alam yang begitu berlimpah. Papua juga disebut-sebut sebagai surga kecil yang jatuh ke bumi. Papua merupakan surga keanekaragaman hayati yang tersisa di bumi saat ini. Pada tahun 2006 diberitakan suatu tim survei yang terdiri dari penjelajah Amerika, Indonesia dan Australia mengadakan peninjauan di sebagian daerah pegunungan Foja Propinsi Papua Indonesia. Di sana mereka menemukan suatu tempat ajaib yang mereka namakan "dunia yang hilang",dan "Taman Firdaus di bumi", dengan menyaksikan puluhan jenis burung, kupu-kupu, katak dan tumbuhan yang belum pernah tercatat dalam sejarah. Jika dikelola dengan baik, orang Papua pun bisa lebih makmur dengan kekayan alam yang melimpah tersebut.
Demikianlah sedikit tulisan mengenai pulau-pulau di Indonesia yang sangat kaya. Dari tulisan tersebut sebenarnya Indonesia sudah dikenal sebagai bumi yang kaya sejak zaman peradaban kuno. Kita tidak tahu peradaban kuno apa yang sebenarnya telah ada di Kepulauan Nusantara ini. Bisa jadi telah ada peradaban kuno dan makmur di Indonesia ini yang tidak tercatat sejarah.
Ilmuwan Brazil Prof. Dr. Aryso Santos, menegaskan teori bahwa Atlantis itu adalah wilayah yang sekarang disebut Indonesia. Indonesia adalah wilayah yang dianggap sebagai ahli waris Atlantis. Plato menyebutkan bahwa Atlantis adalah negara makmur yang bermandi matahari sepanjang waktu.
Oppenheimer dalam buku “Eden in the East: the Drowned Continent of Southeast Asia”, mengajukan bahwa Sundaland (Indonesia) adalah Taman Firdaus (Taman Eden). bahwa Taman Firdaus (Eden) itu bukan di Timur Tengah, tetapi justru di Sundaland. Indonesia memang merupakan lahan yang subur dan indah yang terletak di jalur cincin api (pacific ring of fire), yang ditandai keberadaan lebih dari 500 gunung berapi di Indonesia. Indonesia bisa saja disebut sebagai surga yang dikelilingi cincin api. Tapi terlepas dari benar atau tidaknya kita semua sepakat mengatakan bahwa sebenarnya Indonesia adalah negeri yang sangat kaya akan hasil bumi, laut maupun budayanya.
Kebudayaan asli Indonesia sudah berumur ribuan tahun sebelum peradaban Mesir maupun Mesopotamia mulai menulis di atas batu. Peradaban bangsa Indonesia mungkin memang tidak dimulai dengan tradisi tulisan, akan tetapi tradisi lisan telah hidup dan mengakar dalam jiwa masyarakat kuno bangsa kita.
Alam Indonesia yang kaya-raya dan dirawat dengan baik oleh nenek moyang kita juga menjadi salah satu faktor yang membuat kepulauan nusantara menjadi sumber perhatian dunia. Indonesia merupakan negara yang terletak di khatulistiwa yang memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah di samping letaknya yang strategis secara geografis. Sumber daya alam tersebut mulai dari kekayaan laut, hutan, hingga barang tambang yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Kini mulai banyak ditemukan tambang baru di Indonesia. Orang Indonesia akan terkejut dengan kekayaan alam apa lagi yang akan muncul dari dalam bumi Indonesia ini.
Bumi yang kaya ini jika dikelola dengan baik akan membuat setiap rakyat Indonesia bisa memperoleh kemakmuran yang luar biasa sehingga bisa jadi suatu saat rakyat Indonesia sudah tidak perlu dikenakan pajak seperti saat ini, dan segala fasilitas bisa dinikmati dengan gratis berkat dari kekayaan alam yang melimpah yang dibagi kepada rakyat secara adil. Yang dibutuhkan Indonesia adalah penguasa baik, adil dan pandai yang amat mencintai rakyat dan menolak segala bentuk kebijakan yang menyulitkan masyarakat. Sudah saatnya Indonesia bangkit menuju kejayaannya. Jika hal itu terlaksana Indonesia bisa menjadi negara paling kaya di dunia.
http://jelajahunik.blogspot.com/2011/02/pulau-pulau-indonesia-yang-sangat-kaya.html
Sumatera - Pulau Emas
Dalam berbagai prasasti, pulau Sumatera disebut dengan nama Sansekerta: Suwarnadwipa (“pulau emas”) atau Suwarnabhumi (“tanah emas”). Nama-nama ini sudah dipakai dalam naskah-naskah India sebelum Masehi. Sumatera juga dikenal sebagai pulau Andalas.
Pada masa Dinasti ke-18 Fir'aun di Mesir (sekitar 1.567SM-1.339SM), di pesisir barat pulau sumatera telah ada pelabuhan yang ramai, dengan nama Barus. Barus (Lobu Tua - daerah Tapanuli) diperkirakan sudah ada sejak 3000 tahun sebelum Masehi. Barus dikenal karena merupakan tempat asal kapur barus. Ternyata kamper atau kapur barus digunakan sebagai salah satu bahan pengawet mummy Fir'aun Mesir kuno.
Di samping Barus, di Sumatera terdapat juga kerajaan kuno lainnya. Sebuah manuskrip Yahudi Purba menceritakan sumber bekalan emas untuk membina negara kota Kerajaan Nabi Sulaiman diambil dari sebuah kerajaan purba di Timur Jauh yang dinamakan Ophir. Kemungkinan Ophir berada di Sumatera Barat. Di Sumatera Barat terdapat gunung Ophir. Gunung Ophir (dikenal juga dengan nama G. Talamau) merupakan salah satu gunung tertinggi di Sumatera Barat, yang terdapat di daerah Pasaman. Kabarnya kawasan emas di Sumatera yang terbesar terdapat di Kerajaan Minangkabau. Menurut sumber kuno, dalam kerajaan itu terdapat pegunungan yang tinggi dan mengandung emas. Konon pusat Kerajaan Minangkabau terletak di tengah-tengah galian emas. Emas-emas yang dihasilkan kemudian diekspor dari sejumlah pelabuhan, seperti Kampar, Indragiri, Pariaman, Tikus, Barus, dan Pedir. Di Pulau Sumatera juga berdiri Kerajaan Srivijaya yang kemudian berkembang menjadi Kerajaan besar pertama di Nusantara yang memiliki pengaruh hingga ke Thailand dan Kamboja di utara, hingga Maluku di timur.
Kini kekayaan mineral yang dikandung pulau Sumatera banyak ditambang. Banyak jenis mineral yang terdapat di Pulau Sumatera selain emas. Sumatera memiliki berbagai bahan tambang, seperti batu bara, emas, dan timah hitam. Bukan tidak mungkin sebenarnya bahan tambang seperti emas dan lain-lain banyak yang belum ditemukan di Pulau Sumatera. Beberapa orang yakin sebenarnya Pulau Sumatera banyak mengandung emas selain dari apa yang ditemukan sekarang. Jika itu benar maka Pulau Sumatera akan dikenal sebagai pulau emas kembali.
Jawa - Pulau Padi
Dahulu Pulau Jawa dikenal dengan nama JawaDwipa. JawaDwipa berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti "Pulau Padi" dan disebut dalam epik Hindu Ramayana. Epik itu mengatakan "Jawadwipa, dihiasi tujuh kerajaan, Pulau Emas dan perak, kaya dengan tambang emas", sebagai salah satu bagian paling jauh di bumi. Ahli geografi Yunani, Ptolomeus juga menulis tentang adanya “negeri Emas” dan “negeri Perak” dan pulau-pulau, antara lain pulau “”Iabadiu” yang berarti “Pulau Padi”.
Ptolomeus menyebutkan di ujung barat Iabadiou (Jawadwipa) terletak Argyre (kotaperak). Kota Perak itu kemungkinan besar adalah kerajaan Sunda kuno, Salakanagara yang terletak di barat Pulau Jawa. Salakanagara dalam sejarah Sunda (Wangsakerta) disebut juga Rajatapura. Salaka diartikan perak sedangkan nagara sama dengan kota, sehingga Salakanagara banyak ditafsirkan sebagai Kota perak.
Di Pulau Jawa ini juga berdiri kerajaan besar Majapahit. Majapahit tercatat sebagai kerajaan terbesar di Nusantara yang berhasil menyatukan kepulauan Nusantara meliputi Sumatra, semenanjung Malaya, Borneo, Sulawesi, kepulauan Nusa Tenggara, Maluku, Papua, dan sebagian kepulauan Filipina. Dalam catatan Wang Ta-yuan, komoditas ekspor Jawa pada saat itu ialah lada, garam, kain, dan burung kakak tua. Mata uangnya dibuat dari campuran perak, timah putih, timah hitam, dan tembaga. Selain itu, catatan kunjungan biarawan Roma tahun 1321, Odorico da Pordenone, menyebutkan bahwa istana Raja Jawa penuh dengan perhiasan emas, perak, dan permata.
Menurut banyak pakar, pulau tersubur di dunia adalah Pulau Jawa. Hal ini masuk akal, karena Pulau Jawa mempunyai konsentrasi gunung berapi yang sangat tinggi. Banyak gunung berapi aktif di Pulau Jawa. Gunung inilah yang menyebabkan tanah Pulau Jawa sangat subur dengan kandungan nutrisi yang di perlukan oleh tanaman.
Raffles pengarang buku The History of Java merasa takjub pada kesuburan alam Jawa yang tiada tandingnya di belahan bumi mana pun. “Apabila seluruh tanah yang ada dimanfaatkan,” demikian tulisnya, “bisa dipastikan tidak ada wilayah di dunia ini yang bisa menandingi kuantitas, kualitas, dan variasi tanaman yang dihasilkan pulau ini.”
Kini pulau Jawa memasok 53 persen dari kebutuhan pangan Indonesia. Pertanian padi banyak terdapat di Pulau Jawa karena memiliki kesuburan yang luar biasa. Pulau Jawa dikatakan sebagai lumbung beras Indonesia. Jawa juga terkenal dengan kopinya yang disebut kopi Jawa. Curah hujan dan tingkat keasaman tanah di Jawa sangat pas untuk budidaya kopi. Jauh lebih baik dari kopi Amerika Latin ataupun Afrika.
Hasil pertanian pangan lainnya berupa sayur-sayuran dan buah-buahan juga benyak terdapat di Jawa, misalnya kacang tanah, kacang hijau, daun bawang, bawang merah, kentang, kubis, lobak, petsai, kacang panjang, wortel, buncis, bayam, ketimun, cabe, terong, labu siam, kacang merah, tomat, alpokat, jeruk, durian, duku, jambu biji, jambu air, jambu bol, nenas, mangga, pepaya, pisang, sawo, salak,apel, anggur serta rambutan. Bahkan di Jawa kini dicoba untuk ditanam gandum dan pohon kurma. Bukan tidak mungkin jika lahan di Pulau Jawa dipakai dan diolah secara maksimal untuk pertanian maka Pulau Jawa bisa sangat kaya hanya dari hasil pertanian.
Kepulauan Sunda kecil (Bali, NTB dan NTT) - Kepulauan Wisata
Ptolemaeus menyebutkan, ada tiga buah pulau yang dinamai Sunda yang terletak di sebelah timur India. Berdasarkan informasi itu kemudian ahli-ahli ilmu bumi Eropa menggunakan kata Sunda untuk menamai wilayah dan beberapa pulau di timur India. Sejumlah pulau yang kemudian terbentuk di dataran Sunda diberi nama dengan menggunakan istilah Sunda pula yakni Kepulauan Sunda Besar dan Kepulauan Sunda Kecil. Kepulauan Sunda Besar ialah himpunan pulau besar yang terdiri dari Sumatera, Jawa, Madura dan Kalimantan. Sedangkan Sunda Kecil merupakan gugusan pulau Bali, Lombok, Sumbawa, Flores, Sumba, dan Timor.
Daerah Kepulauan Sunda kecil ini dikenal sebagai daerah wisata karena keindahan alamnya yang menakjubkan. Sejak dulu telah ada yang berwisata ke daerah ini. Perjalanan Rsi Markandiya sekitar abad 8 dari Jawa ke Bali, telah melakukan perjalanan wisata dengan membawa misi-misi keagaman. Demikian pula Empu Kuturan yang mengembangkan konsep Tri Sakti di Bali datang sekitar abad 11. Pada tahun 1920 wisatawan dari Eropa mulai datang ke Bali. Bali di Eropa dikenal juga sebagai the Island of God.
Di Tempat lain di Kepulauan Sunda Kecil tepatnya di daerah Nusa Tenggara Barat dikenal dari hasil ternaknya berupa kuda, sapi, dan kerbau. Kuda Nusa tenggara sudah dikenal dunia sejak ratusan tahun silam. Abad 13 M Nusa Tenggara Barat telah mengirim kuda-kuda ke Pulau Jawa. Nusa Tenggara Barat juga dikenal sebagai tempat pariwisata raja-raja. Raja-raja dari kerajaan Bali membangun Taman Narmada pada tahun 1727 M di daerah Pulau Lombok untuk melepas kepenatan sesaat dari rutinitas di kerajaan.
Daerah Sunda Kecil yang tidak kalah kayanya adalah Nusa Tenggara Timur, karena di daerah ini terdapat kayu cendana yang sangat berharga. Cendana adalah tumbuhan asli Indonesia yang tumbuh di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Cendana dari Nusa Tenggara Timur telah diperdagangkan sejak awal abad masehi. Sejak awal abad masehi, banyak pedagang dari wilayah Indonesia bagian barat dan Cina berlayar ke berbagai wilayah penghasil cendana di Nusa Tenggara Timur terutama Pulau Sumba dan Pulau Timor. Konon Nabi Sulaiman memakai cendana untuk membuat tiang-tiang dalam bait Sulaiman, dan untuk alat musik. Nabi Sulaiman mengimpor kayu ini dari tempat-tempat yang jauh yang kemungkinan cendana tersebut berasal dari Nusa Tenggara Timur.
Kini Kepulauan Sunda kecil ini merupakan tempat pariwisata yang terkenal di dunia. Bali merupakan pulau terindah di dunia. Lombok juga merupakan salah satu tempat terindah di dunia. Sementara itu di Nusa tenggara Timur terdapat Pulau yang dihuni binatang purba satu-satunya di dunia yang masih hidup yaitu komodo. Kepulauan Sunda kecil merupakan tempat yang misterius dan sangat menawan. Kepulauan ini bisa mendapat banyak kekayaan para pelancong dari seluruh dunia jika dikelola secara maksimal.
Kalimantan - Pulau Lumbung energi
Dahulu nama pulau terbesar ketiga di dunia ini adalah Warunadwipa yang artinya Pulau Dewa Laut. Kalimantan dalam berita-berita China (T’ai p’ing huan yu chi) disebut dengan istilah Chin li p’i shih. Nusa Kencana" adalah sebutan pulau Kalimantan dalam naskah-naskah Jawa Kuno. Orang Melayu menyebutnya Pulau Hujung Tanah (P'ulo Chung). Borneo adalah nama yang dipakai oleh kolonial Inggris dan Belanda.
Pada zaman dulu pedagang asing datang ke pulau ini mencari komoditas hasil alam berupa kamfer, lilin dan sarang burung walet melakukan barter dengan guci keramik yang bernilai tinggi dalam masyarakat Dayak. Para pendatang India maupun orang Melayu memasuki muara-muara sungai untuk mencari lahan bercocok tanam dan berhasil menemukan tambang emas dan intan di Pulau ini.
Di Kalimantan berdiri kerajaan Kutai. Kutai Martadipura adalah kerajaan tertua bercorak Hindu di Nusantara. Nama Kutai sudah disebut-sebut sejak abad ke 4 (empat) pada berita-berita India secara tegas menyebutkan Kutai dengan nama “Quetaire” begitu pula dengan berita Cina pada abat ke 9 (sembilan) menyebut Kutai dengan sebutan “Kho They” yang berarti kerajaan besar. Dan pada abad 13 (tiga belas) dalam kesusastraan kuno Kitab Negara Kertagama yang disusun oleh Empu Prapanca ditulis dengan istilah “Tunjung Kute”. Peradaban Kutai masa lalu inilah yang menjadi tonggak awal zaman sejarah di Indonesia.
Kini Pulau Kalimantan merupakan salah satu lumbung sumberdaya alam di Indonesia memiliki beberapa sumberdaya yang dapat dijadikan sebagai sumber energi, diantaranya adalah batubara, minyak, gas dan geothermal. Hutan Kalimantan mengandung gambut yang dapat digunakan sebagai sumber energi baik untuk pembangkit listrik maupun pemanas sebagai pengganti batu bara. Yang luar biasa ternyata Kalimantan memiliki banyak cadangan uranium yang bisa dipakai untuk pembangkit listrik tenaga nuklir. Disamping itu Kalimantan juga memiliki potensi lain yakni sebagai penyedia sumber energi botani atau terbaharui. Sumber energi botani atau bioenergi ini adalah dari CPO sawit. Pulau Kalimantan memang sangat kaya.
Sulawesi - Pulau besi
Orang Arab menyebut Sulawesi dengan nama Sholibis. Orang Belanda menyebut pulau ini dengan nama Celebes. Pulau ini telah dihuni oleh manusia sejak 30.000 tahun yang lalu terbukti dengan adanya peninggalan purba di Pulau ini. Contohnya lokasi prasejarah zaman batu Lembah Besoa.
Nama Sulawesi konon berasal dari kata ‘Sula’ yang berarti pulau dan ‘besi’. Pulau Sulawesi sejak dahulu adalah penghasil bessi (besi), sehingga tidaklah mengherankan Ussu dan sekitar danau Matana mengandung besi dan nikkel. Di sulawesi pernah berdiri Kerajaan Luwu yang merupakan salah satu kerajaan tertua di Sulawesi. Wilayah Luwu merupakan penghasil besi. Bessi Luwu atau senjata Luwu (keris atau kawali) sangat terkenal akan keampuhannya, bukan saja di Sulawesi tetapi juga di luar Sulawesi. Dalam sejarah Majapahit, wilayah Luwu merupakan pembayar upeti kerajaan, selain dikenal sebagai pemasok utama besi ke Majapahit, Maluku dan lain-lain. Menurut catatan yang ada, sejak abad XIV Luwu telah dikenal sebagai tempat peleburan besi.
Di Pulau Sulawesi ini juga pernah berdiri Kerajaan Gowa Tallo yang pernah berada dipuncak kejayaan yang terpancar dari Sombaopu, ibukota Kerajaan Gowa ke timur sampai ke selat Dobo, ke utara sampai ke Sulu, ke barat sampai ke Kutai dan ke selatan melalui Sunda Kecil, diluar pulau Bali sampai ke Marege (bagian utara Australia). Ini menunjukkan kekuasaan yang luas meliputi lebih dari 2/3 wilayah Nusantara.
Selama zaman yang makmur akan perdagangan rempah-rempah pada abad 15 sampai 19, Sulawesi sebagai gerbang kepulauan Maluku, pulau yang kaya akan rempah-rempah. Kerajaan besar seperti Makasar dan Bone seperti yang disebutkan dalam sejarah Indonesia timur, telah memainkan peranan penting. Pada abad ke 14 Masehi, orang Sulawesi sudah bisa membuat perahu yang menjelajahi dunia. Perahu pinisi yang dibuat masyarakat Bugis pada waktu itu sudah bisa berlayar sampai ke Madagaskar di Afrika, suatu perjalanan mengarungi samudera yang memerlukan tekad yang besar dan keberanian luar biasa. Ini membuktikan bahwa suku Bugis memiliki kemampuan membuat perahu yang mengagumkan, dan memiliki semangat bahari yang tinggi. Pada saat yang sama Vasco da Gama baru memulai penjelajahan pertamanya pada tahun 1497 dalam upaya mencari rempah-rempah, dan menemukan benua-benua baru di timur, yang sebelumnya dirintis Marco Polo.
Sampai saat ini Sulawesi sangat kaya akan bahan tambang meliputi besi, tembaga, emas, perak, nikel, titanium, mangan semen, pasir besi/hitam, belerang, kaolin dan bahan galian C seperti pasir, batu, krikil dan trass. Jika saja dikelola dengan baik demi kemakmuran rakyat maka menjadi kayalah seluruh orang Sulawesi.
Maluku - Kepulauan rempah-rempah
Maluku memiliki nama asli "Jazirah al-Mulk" yang artinya kumpulan/semenanjung kerajaan yang terdiri dari kerajaan-kerajaan kecil. Maluku dikenal dengan kawasan Seribu Pulau serta memiliki keanekaragaman sosial budaya dan kekayaan alam yang berlimpah. Orang Belanda menyebutnya sebagai ‘the three golden from the east’ (tiga emas dari timur) yakni Ternate, Banda dan Ambon. Sebelum kedatangan Belanda, penulis dan tabib Portugis, Tome Pirez menulis buku ‘Summa Oriental’ yang telah melukiskan tentang Ternate, Ambon dan Banda sebagai ‘the spices island’.
Pada masa lalu wilayah Maluku dikenal sebagai penghasil rempah-rempah seperti cengkeh dan pala. Cengkeh adalah rempah-rempah purbakala yang telah dikenal dan digunakan ribuan tahun sebelum masehi. Pohonnya sendiri merupakan tanaman asli kepulauan Maluku (Ternate dan Tidore), yang dahulu dikenal oleh para penjelajah sebagai Spice Islands.
Pada 4000 tahun lalu di kerajaan Mesir, Fir’aun dinasti ke-12, Sesoteris III. Lewat data arkeolog mengenai transaksi Mesir dalam mengimpor dupa, kayu eboni, kemenyan, gading, dari daratan misterius tempat “Punt” berasal. Meski dukungan arkeologis sangat kurang, negeri “Punt” dapat diidentifikasi setelah Giorgio Buccellati menemukan wadah yang berisi benda seperti cengkih di Efrat tengah. Pada masa 1.700 SM itu, cengkih hanya terdapat di kepulauan Maluku, Indonesia. Pada abad pertengahan (sekitar 1600 Masehi) cengkeh pernah menjadi salah satu rempah yang paling popular dan mahal di Eropa, melebihi harga emas.
Selain cengkeh, rempah-rempah asal Maluku adalah buah Pala. Buah Pala (Myristica fragrans) merupakan tumbuhan berupa pohon yang berasal dari kepulauan Banda, Maluku. Akibat nilainya yang tinggi sebagai rempah-rempah, buah dan biji pala telah menjadi komoditi perdagangan yang penting pada masa Romawi. Melihat mahalnya harga rempah-rempah waktu itu banyak orang Eropa kemudian mencari Kepulauan rempah-rempah ini. Sesungguhnya yang dicari Christoper Columbus ke arah barat adalah jalan menuju Kepulauan Maluku, ‘The Island of Spices’ (Pulau Rempah-rempah), meskipun pada akhirnya Ia justru menemukan benua baru bernama Amerika. Rempah-rempah adalah salah satu alasan mengapa penjelajah Portugis Vasco Da Gama mencapai India dan Maluku.
Kini sebenarnya Maluku bisa kembali berjaya dengan hasil pertaniannya jika terus dikembangkan dengan baik. Maluku bisa kaya raya dengan hasil bumi dan lautnya.
Papua - Pulau surga
Papua adalah pulau terbesar kedua di dunia. Pada sekitar Tahun 200 M , ahli Geography bernama Ptolamy menyebutnya dengan nama LABADIOS. Pada akhir tahun 500 M, pengarang Tiongkok bernama Ghau Yu Kua memberi nama TUNGKI, dan pada akhir tahun 600 M, Kerajaan Sriwijaya menyebut nama Papua dengan menggunakan nama JANGGI. Tidore memberi nama untuk pulau ini dan penduduknya sebagai PAPA-UA yang sudah berubah dalam sebutan menjadi PAPUA. Pada tahun 1545, Inigo Ortiz de Retes memberi nama NUEVA GUINEE dan ada pelaut lain yang memberi nama ISLA DEL ORO yang artinya Pulau Emas. Robin Osborne dalam bukunya, Indonesias Secret War: The Guerilla Struggle in Irian Jaya (1985), menjuluki provinsi paling timur Indonesia ini sebagai surga yang hilang.
Tidak diketahui apakah pada peradaban kuno sebelum masehi di Papua telah terdapat kerajaan. Bisa jadi zaman dahulu telah terdapat peradaban maju di Papua. Pada sebuah konferensi tentang lampu jalan dan lalulintas tahun 1963 di Pretoria (Afrika Selatan), C.S. Downey mengemukakan tentang sebuah pemukiman terisolir di tengah hutan lebat Pegunungan Wilhelmina (Peg. Trikora) di Bagian Barat New Guinea (Papua) yang memiliki sistem penerangan maju. Para pedagang yang dengan susah payah berhasil menembus masuk ke pemukiman ini menceritakan kengeriannya pada cahaya penerangan yang sangat terang benderang dari beberapa bulan yang ada di atas tiang-tiang di sana. Bola-bola lampu tersebut tampak secara aneh bersinar setelah matahari mulai terbenam dan terus menyala sepanjang malam setiap hari. Kita tidak tahu akan kebenaran kisah ini tapi jika benar itu merupakan hal yang luar biasa dan harus terus diselidiki.
Papua telah dikenal akan kekayaan alamnya sejak dulu. Pada abad ke-18 Masehi, para penguasa dari kerajaan Sriwijaya, mengirimkan persembahan kepada kerajaan China. Di dalam persembahan itu terdapat beberapa ekor burung Cendrawasih, yang dipercaya sebagai burung dari taman surga yang merupakan hewan asli dari Papua. Dengan armadanya yang kuat Sriwijaya mengunjungi Maluku dan Papua untuk memperdagangkan rempah – rempah, wangi – wangian, mutiara dan bulu burung Cenderawasih. Pada zaman Kerajaan Majapahit sejumlah daerah di Papua sudah termasuk dalam wilayah kekuasaan Majapahit. Pada abad XVI Pantai Utara sampai Barat daerah Kepala Burung sampai Namatota ( Kab.Fak-fak ) disebelah Selatan, serta pulau – pulau disekitarnya menjadi daerah kekuasaan Sultan Tidore.
Tanah Papua sangat kaya. Tembaga dan Emas merupakan sumber daya alam yang sangat berlimpah yang terdapat di Papua. Papua terkenal dengan produksi emasnya yang terbesar di dunia dan berbagai tambang dan kekayaan alam yang begitu berlimpah. Papua juga disebut-sebut sebagai surga kecil yang jatuh ke bumi. Papua merupakan surga keanekaragaman hayati yang tersisa di bumi saat ini. Pada tahun 2006 diberitakan suatu tim survei yang terdiri dari penjelajah Amerika, Indonesia dan Australia mengadakan peninjauan di sebagian daerah pegunungan Foja Propinsi Papua Indonesia. Di sana mereka menemukan suatu tempat ajaib yang mereka namakan "dunia yang hilang",dan "Taman Firdaus di bumi", dengan menyaksikan puluhan jenis burung, kupu-kupu, katak dan tumbuhan yang belum pernah tercatat dalam sejarah. Jika dikelola dengan baik, orang Papua pun bisa lebih makmur dengan kekayan alam yang melimpah tersebut.
Demikianlah sedikit tulisan mengenai pulau-pulau di Indonesia yang sangat kaya. Dari tulisan tersebut sebenarnya Indonesia sudah dikenal sebagai bumi yang kaya sejak zaman peradaban kuno. Kita tidak tahu peradaban kuno apa yang sebenarnya telah ada di Kepulauan Nusantara ini. Bisa jadi telah ada peradaban kuno dan makmur di Indonesia ini yang tidak tercatat sejarah.
Ilmuwan Brazil Prof. Dr. Aryso Santos, menegaskan teori bahwa Atlantis itu adalah wilayah yang sekarang disebut Indonesia. Indonesia adalah wilayah yang dianggap sebagai ahli waris Atlantis. Plato menyebutkan bahwa Atlantis adalah negara makmur yang bermandi matahari sepanjang waktu.
Oppenheimer dalam buku “Eden in the East: the Drowned Continent of Southeast Asia”, mengajukan bahwa Sundaland (Indonesia) adalah Taman Firdaus (Taman Eden). bahwa Taman Firdaus (Eden) itu bukan di Timur Tengah, tetapi justru di Sundaland. Indonesia memang merupakan lahan yang subur dan indah yang terletak di jalur cincin api (pacific ring of fire), yang ditandai keberadaan lebih dari 500 gunung berapi di Indonesia. Indonesia bisa saja disebut sebagai surga yang dikelilingi cincin api. Tapi terlepas dari benar atau tidaknya kita semua sepakat mengatakan bahwa sebenarnya Indonesia adalah negeri yang sangat kaya akan hasil bumi, laut maupun budayanya.
Kebudayaan asli Indonesia sudah berumur ribuan tahun sebelum peradaban Mesir maupun Mesopotamia mulai menulis di atas batu. Peradaban bangsa Indonesia mungkin memang tidak dimulai dengan tradisi tulisan, akan tetapi tradisi lisan telah hidup dan mengakar dalam jiwa masyarakat kuno bangsa kita.
Alam Indonesia yang kaya-raya dan dirawat dengan baik oleh nenek moyang kita juga menjadi salah satu faktor yang membuat kepulauan nusantara menjadi sumber perhatian dunia. Indonesia merupakan negara yang terletak di khatulistiwa yang memiliki kekayaan sumber daya alam melimpah di samping letaknya yang strategis secara geografis. Sumber daya alam tersebut mulai dari kekayaan laut, hutan, hingga barang tambang yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Kini mulai banyak ditemukan tambang baru di Indonesia. Orang Indonesia akan terkejut dengan kekayaan alam apa lagi yang akan muncul dari dalam bumi Indonesia ini.
Bumi yang kaya ini jika dikelola dengan baik akan membuat setiap rakyat Indonesia bisa memperoleh kemakmuran yang luar biasa sehingga bisa jadi suatu saat rakyat Indonesia sudah tidak perlu dikenakan pajak seperti saat ini, dan segala fasilitas bisa dinikmati dengan gratis berkat dari kekayaan alam yang melimpah yang dibagi kepada rakyat secara adil. Yang dibutuhkan Indonesia adalah penguasa baik, adil dan pandai yang amat mencintai rakyat dan menolak segala bentuk kebijakan yang menyulitkan masyarakat. Sudah saatnya Indonesia bangkit menuju kejayaannya. Jika hal itu terlaksana Indonesia bisa menjadi negara paling kaya di dunia.
http://jelajahunik.blogspot.com/2011/02/pulau-pulau-indonesia-yang-sangat-kaya.html
Selasa, 22 Maret 2011
Suku Angkola
Sumber bacaan: wikipedia
Suku Angkola adalah suku bangsa Indonesia yang mendiami daerah Angkola di Kabupaten Tapanuli Selatan, Propinsi Sumtera Utara. Nama Angkola berasal dari nama sungai di Angkola yaitu sungai (batang) Angkola. Menurut cerita, sungai ini dinamai oleh Rajendra Kola (Chola) I, penguasa kerajaan Chola (1014-1044M) di India Selatan ketika itu yang masuk melalui Padang Lawas.
Daerah di sebelah selatan Batang Angkola diberi nama Angkola Jae (Hilir) dan sebelah utara Angkola Julu (Hulu). Kemudian orang-orang dari kerajaan Chola meninggalkan Angkola disaat wabah lepra mewabah.
Oppu Jolak Maribu yang bermarga Dalimunthe adalah tokoh Angkola berikutnya yang muncul sepeninggal kekuasaan Rajendra Chola I. Kemudian untuk pertama kalinya dia mendirikan huta (kampung) Sitamiang. Berikutnya seperti Pargarutan yang artinya tempatnya mengasah pedang. Tanggal yaitu tempatnya menaggalkan hari/tempat kalender batak, dan lain-lain.
Kemudian masuklah suku-suku lain dari segala penjuru ke wilayah Angkola. Marga yang mendiami Angkola pada umumnya adalah Dalimunthe, Harahap, Siregar, Ritonga, Daulay, dan lainnya. Angkola mendapat pengaruh Islam dari Tuanku Lelo yang menyebarkan Islam dalam misi Padri (1821) dari Minangkabau.
(Tentang) Radjendra Chola I
Sumber Bacaan: wikipedia
Kerajaan Chola muncul tahun 985 Masehi. Menurut sejarawan Herman Kulke dalam buku Nagapattinam to Suvarnadwipa, Reflections on the Chola Naval Expeditions to Southeast Asia merupakan salah satu dinasti terkuat di dunia pada abad ke-10. Kekuatan superpower lain kala itu adalah Dinasti Fatimiyah di Mesir yang muncul tahun 969 Masehi dan Dinasti Sung di Tiongkok yang muncul tahun 960 Masehi. Kerajaan Chola terletak di India selatan.
Rajendra Chola I (1014-1044) adalah putra Rajaraja Chola I yang menjadi raja Chola pada tahun 1014. Selama kekuasaannya, ia memperluas kekuasaan Chola ke tepi sungai Gangga di utara. Wlayah Rajendra mencapai Burma, Kepulauan Andaman dan Nikobar, Lakshadweep, Maladewa, menaklukan Sriwijaya (Sumatra, Jawa dan Semenanjung Malaya di Asia Tenggara), dan kepulauan Pegu.
Ia menaklukan Mahipala, raja Pala dari Benggala dan Bihar, dan untuk mengenang kemenangannya ia membangun ibukota barunya yang disebut Gangaikonda Cholapuram. Rajendra adalah raja India pertama yang membawa angkatan bersenjatanya ke luar negeri. Ia juga membangun kuil untuk Siwa di Gangaikonda Cholapuram.
Penaklukan Sriwijaya
Sumber Bacaan: Harian Kompas
Herman Kulke menulis, Kerajaan Chola yang mengirim utusan ke Tiongkok pada 1015 mendapat informasi intelijen tentang kekuatan Sriwijaya saat singgah di Sumatera. Informasi itu menjadi dasar serangan kekuatan laut Raja Rajendra Chola I tahun 1025 ke Sriwijaya (Palembang), Malayu (Jambi), Pannai di sekitar Riau Daratan dan wilayah yang kini jadi Malaysia modern di Kadaram (Kedah), Ilangasokam di Trengganu-Pattani. Serangan itu memorakporandakan Semenanjung Malaya dan Sumatera.
Situasi damai tercipta di Semenanjung Malaya setelah serangan Kerajaan Chola. Kerajaan Malaka (1402) yang dipimpin Parameswara, seorang keturunan Majapahit yang berasal dari Sumatera, menjadi kekuatan perdagangan di kawasan tersebut.
Kerajaan Pannai
Sumber bacaan: wikipedia
Kerajaan Pannai atau Panai merupakan kerajaan Budhhis yang pernah berdiri pada abad ke-11 sampai ke-14 di Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta), sekarang. Sebagai kerajaan kecil, kemungkinan ia merupakan vazal (daerah koloni) dari Kerajaan Sriwijaya atau Dharmasraya.
Keberadaan kerajaan ini diketahui dari prasasti berbahasa Tamil berangka tahun 1025 dan 1030 Saka yang dibuat Raja Rajendra Chola I, di India Selatan, yang menyebutkan tentang penyerangan ke Sriwijaya. Kitab Nagarakertagama, naskah kuno Kerajaan Majapahit tulisan Empu Prapanca tahun 1365 Saka, juga menyebutkan kerajaan ini. Kerajaan ini meninggalkan satu komplek percandian Padanglawas, sebanyak 16 bangunan, misalnya Candi Bahal.
Sultan Panai Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM De zelfbestuurder van Panei in zijn paleis Asahan Noordoost-Sumatra. Berkas ini disediakan untuk Wikimedia Commons.
Nama Panai sendiri banyak terdapat di berbagai wilayah di Sumatera. Misalnya di Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara terdapat tiga kecamatan menggunakan nama "Panai" yaitu Kecamatan Panai Tengah, Hulu dan Hilir. Apakah ada hubungan antara nama suku Panai dengan semua hal itu masih perlu penelitian lebih lanjut.
Suku Angkola adalah suku bangsa Indonesia yang mendiami daerah Angkola di Kabupaten Tapanuli Selatan, Propinsi Sumtera Utara. Nama Angkola berasal dari nama sungai di Angkola yaitu sungai (batang) Angkola. Menurut cerita, sungai ini dinamai oleh Rajendra Kola (Chola) I, penguasa kerajaan Chola (1014-1044M) di India Selatan ketika itu yang masuk melalui Padang Lawas.
Daerah di sebelah selatan Batang Angkola diberi nama Angkola Jae (Hilir) dan sebelah utara Angkola Julu (Hulu). Kemudian orang-orang dari kerajaan Chola meninggalkan Angkola disaat wabah lepra mewabah.
Oppu Jolak Maribu yang bermarga Dalimunthe adalah tokoh Angkola berikutnya yang muncul sepeninggal kekuasaan Rajendra Chola I. Kemudian untuk pertama kalinya dia mendirikan huta (kampung) Sitamiang. Berikutnya seperti Pargarutan yang artinya tempatnya mengasah pedang. Tanggal yaitu tempatnya menaggalkan hari/tempat kalender batak, dan lain-lain.
Kemudian masuklah suku-suku lain dari segala penjuru ke wilayah Angkola. Marga yang mendiami Angkola pada umumnya adalah Dalimunthe, Harahap, Siregar, Ritonga, Daulay, dan lainnya. Angkola mendapat pengaruh Islam dari Tuanku Lelo yang menyebarkan Islam dalam misi Padri (1821) dari Minangkabau.
(Tentang) Radjendra Chola I
Sumber Bacaan: wikipedia
Kerajaan Chola muncul tahun 985 Masehi. Menurut sejarawan Herman Kulke dalam buku Nagapattinam to Suvarnadwipa, Reflections on the Chola Naval Expeditions to Southeast Asia merupakan salah satu dinasti terkuat di dunia pada abad ke-10. Kekuatan superpower lain kala itu adalah Dinasti Fatimiyah di Mesir yang muncul tahun 969 Masehi dan Dinasti Sung di Tiongkok yang muncul tahun 960 Masehi. Kerajaan Chola terletak di India selatan.
Rajendra Chola I (1014-1044) adalah putra Rajaraja Chola I yang menjadi raja Chola pada tahun 1014. Selama kekuasaannya, ia memperluas kekuasaan Chola ke tepi sungai Gangga di utara. Wlayah Rajendra mencapai Burma, Kepulauan Andaman dan Nikobar, Lakshadweep, Maladewa, menaklukan Sriwijaya (Sumatra, Jawa dan Semenanjung Malaya di Asia Tenggara), dan kepulauan Pegu.
Ia menaklukan Mahipala, raja Pala dari Benggala dan Bihar, dan untuk mengenang kemenangannya ia membangun ibukota barunya yang disebut Gangaikonda Cholapuram. Rajendra adalah raja India pertama yang membawa angkatan bersenjatanya ke luar negeri. Ia juga membangun kuil untuk Siwa di Gangaikonda Cholapuram.
Penaklukan Sriwijaya
Sumber Bacaan: Harian Kompas
Herman Kulke menulis, Kerajaan Chola yang mengirim utusan ke Tiongkok pada 1015 mendapat informasi intelijen tentang kekuatan Sriwijaya saat singgah di Sumatera. Informasi itu menjadi dasar serangan kekuatan laut Raja Rajendra Chola I tahun 1025 ke Sriwijaya (Palembang), Malayu (Jambi), Pannai di sekitar Riau Daratan dan wilayah yang kini jadi Malaysia modern di Kadaram (Kedah), Ilangasokam di Trengganu-Pattani. Serangan itu memorakporandakan Semenanjung Malaya dan Sumatera.
Situasi damai tercipta di Semenanjung Malaya setelah serangan Kerajaan Chola. Kerajaan Malaka (1402) yang dipimpin Parameswara, seorang keturunan Majapahit yang berasal dari Sumatera, menjadi kekuatan perdagangan di kawasan tersebut.
Kerajaan Pannai
Sumber bacaan: wikipedia
Kerajaan Pannai atau Panai merupakan kerajaan Budhhis yang pernah berdiri pada abad ke-11 sampai ke-14 di Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta), sekarang. Sebagai kerajaan kecil, kemungkinan ia merupakan vazal (daerah koloni) dari Kerajaan Sriwijaya atau Dharmasraya.
Keberadaan kerajaan ini diketahui dari prasasti berbahasa Tamil berangka tahun 1025 dan 1030 Saka yang dibuat Raja Rajendra Chola I, di India Selatan, yang menyebutkan tentang penyerangan ke Sriwijaya. Kitab Nagarakertagama, naskah kuno Kerajaan Majapahit tulisan Empu Prapanca tahun 1365 Saka, juga menyebutkan kerajaan ini. Kerajaan ini meninggalkan satu komplek percandian Padanglawas, sebanyak 16 bangunan, misalnya Candi Bahal.
Sultan Panai Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM De zelfbestuurder van Panei in zijn paleis Asahan Noordoost-Sumatra. Berkas ini disediakan untuk Wikimedia Commons.
Nama Panai sendiri banyak terdapat di berbagai wilayah di Sumatera. Misalnya di Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara terdapat tiga kecamatan menggunakan nama "Panai" yaitu Kecamatan Panai Tengah, Hulu dan Hilir. Apakah ada hubungan antara nama suku Panai dengan semua hal itu masih perlu penelitian lebih lanjut.
Mandailing Dalam Sejarah
Kitab Nagarakretagama yang mencatat perluasan wilayah Majapahit sekitar 1365 M, menyebut nama Mandailing. Munculnya nama Mandailing pada suku akhir abad ke 14 menunjukkan adanya satu bangsa dan wilayah bernama Mandailing, yang barangkali telah muncul sebelum abad itu lagi.
Dengan demikian "tidak disangsikan lagi bahwa bersandar ungkapan dalam kakawin itu yang dapat diperkirakan sesuai dengan perkembangan sejarah, di Mandailing sudah berkembang suatu masyarakat yang homogen. Dan sebagai wilayah lain di Sumatra yang diungkapkan oleh Prapanca (dalam Nagarakretagama) seperti Minangkabau, Siak, Panai, Aru dan lain-lain, demikian Mandailing bahwa masyarakatnya yang tumbuh itu, entah luas, besar ataupun kecil, terphimpun dalam suatu ketatanegaraan kerajaan".
Setelah nama Mandailing dicatat dalam kitab Nagarakretagama di abad ke 14, kemudian beberapa abad berikutnya tak ada lagi nama Mandailing disebut. Selama lebih lima abad lamanya Mandailing seakan-akan hilang sejarahnya. Baru pada abad ke 19 ketika Belanda mulai menguasai Mandailing, baru berbagai tulisan mengenainya dan masyarakatnya dibuat oleh beberapa pejabat kolonial.
Mandailing bertempat tinggal di pendalaman pesisir pantai barat pulau Sumatra dengan sistem pemerintahan tradisional, tradisi persawahan, pengembalaan kerbau, pelombongan/penambangan mas, persenjataan dan perairan. Kaya dengan mitologi asal-usul marga, Mandailing tercatat dalam kita Nagarakertagama pada abad ke 14, namun sulit mendapatkan catatan sejarah mengenai mereka. Tanah ibunda Mandailing dibagi kepada Mandailing Godang dan Mandailing Julu.
Masyarakat Mandailing diatur dengan menggunakan sistem sosial Dalian na Tolu (Tumpuan Yang Tiga) - merujuk kepada aturan kekerabatan marga - yang diikat menerusi perkawinan dan prinsip Olong Dohot Domu (Kasih Sayang dan Keakraban). Sistem pemerintahan Mandailing demokratis dan egalitar. Lembaga pemerintahan Na Mora Na Toras (Yang Dimuliakan dan Dituakan) memastikan keadilan dan kepemimpinan yang dinamis. Gordang Sambilan adalah gendang adat yang terdiri dari sembilan buah gendang yang relatif besar dan panjang, dan digunakan dalam ucapcara perkawinan, penabalan dan kematian. Sabe-Sabe selendang istiadat dipakai untuk upacara adat dan untuk tarian adat yang disebut Tor-Tor.
Dengan demikian "tidak disangsikan lagi bahwa bersandar ungkapan dalam kakawin itu yang dapat diperkirakan sesuai dengan perkembangan sejarah, di Mandailing sudah berkembang suatu masyarakat yang homogen. Dan sebagai wilayah lain di Sumatra yang diungkapkan oleh Prapanca (dalam Nagarakretagama) seperti Minangkabau, Siak, Panai, Aru dan lain-lain, demikian Mandailing bahwa masyarakatnya yang tumbuh itu, entah luas, besar ataupun kecil, terphimpun dalam suatu ketatanegaraan kerajaan".
Setelah nama Mandailing dicatat dalam kitab Nagarakretagama di abad ke 14, kemudian beberapa abad berikutnya tak ada lagi nama Mandailing disebut. Selama lebih lima abad lamanya Mandailing seakan-akan hilang sejarahnya. Baru pada abad ke 19 ketika Belanda mulai menguasai Mandailing, baru berbagai tulisan mengenainya dan masyarakatnya dibuat oleh beberapa pejabat kolonial.
Mandailing bertempat tinggal di pendalaman pesisir pantai barat pulau Sumatra dengan sistem pemerintahan tradisional, tradisi persawahan, pengembalaan kerbau, pelombongan/penambangan mas, persenjataan dan perairan. Kaya dengan mitologi asal-usul marga, Mandailing tercatat dalam kita Nagarakertagama pada abad ke 14, namun sulit mendapatkan catatan sejarah mengenai mereka. Tanah ibunda Mandailing dibagi kepada Mandailing Godang dan Mandailing Julu.
Masyarakat Mandailing diatur dengan menggunakan sistem sosial Dalian na Tolu (Tumpuan Yang Tiga) - merujuk kepada aturan kekerabatan marga - yang diikat menerusi perkawinan dan prinsip Olong Dohot Domu (Kasih Sayang dan Keakraban). Sistem pemerintahan Mandailing demokratis dan egalitar. Lembaga pemerintahan Na Mora Na Toras (Yang Dimuliakan dan Dituakan) memastikan keadilan dan kepemimpinan yang dinamis. Gordang Sambilan adalah gendang adat yang terdiri dari sembilan buah gendang yang relatif besar dan panjang, dan digunakan dalam ucapcara perkawinan, penabalan dan kematian. Sabe-Sabe selendang istiadat dipakai untuk upacara adat dan untuk tarian adat yang disebut Tor-Tor.
Marga Lubis
Selama berabad-abad lamanya dan sampai sekarang masyarakat Mandailing mempercayai bahawa Namora Pande Bosi adalah nenek moyang orang-orang Mandailing yang bermarga Lubis.
Menurut legendanya, Namora Pande Bosi berasal dari Bugis di Sulawesi Selatan. Dalam pengembaraannya dia sampai ke satu tempat yang bernama Sigalangan di Tapanuli Selatan. Kemudian dia berkahwin dengan puteri raja di tempat tersebut dan terkenal sebagai pandai besi yang mulia. Namora Pande Bosi dan isterinya yang bergelar Nan Tuan Layan Bolan mendapat dua orang anak lelaki yang diberi nama Sutan Borayun dan Sutan Bugis. (Dalam tarombo marga Lubis yang disusun oleh Raja Junjungan pada tahun 1897, ada juga tercatat bahawa nama isteri Namora Pande Bosi ialah Boru Dalimunte Naparila, artinya puteri Dalimnte yang pemalu).
Pada suatu ketika Namora Pande Bosi pergi meyumpit burung ke tengah hutan dan di sana dia bertemu dengan seorang puteri orang bunian dan mengahwininya. Menurut satu cerita, wanita itu adalah orang Lubu (orang asli). Dari perkahwinannya itu, Namora Pande Bosi mendapat dua orang anak lelaki kembar yang masing-masing diberi nama Si Langkitang dan Si Baitang. Ketika kedua anak tersebut masih dalam kandungan, Namora Pande Bosi meninggalkan isterinya dan kembali ke Hatongga. Menjelang dewasa Si Langkitang dan Si Baitang pergi mencari bapa mereka dan menemukannya di Hatongga. Lalu mereka tinggal bersama keluarga bapa mereka di tempat tersebut.
Tidak beberapa lama kemudian, terjadilah perselisihan antara anak-anak Namora Pande Bosi itu dengan anak-anaknya bersama puteri raja Sigalangan. Maka Namora Pande Bosi menyuruh anaknya Si Langkitang dan Si Baitang meninggalkan Hatongga. Mereka disuruhnya pergi ke daerah Mandailing dan jika mereka menemukan tempat di mana terdapat dua sungai yang mengalir dari dua arah yang tepat bertentangan (dalam bahasa Mandailing dinamakan muara patontang) di situlah mereka membuka tempat pemukiman baru.
Setelah lama mengembara akhirnya Si Langkitang dan Si Baitang menemukan muara patontang, lantas mereka membuka pemukiman baru di tempat itu.Tidak lama setelah ditinggalkan anaknya Si Langkitang dan Si Baitang, Namora Pande Bosi meninggal dunia dan dimakamkan di Hatongga. Makam tersebutlah yang akan dipugar. Isterinya Nan Tuan Layan Bolon yang meninggal kemudian dimakamkan di satu tempat yang bernama Hombang Bide, kurang lebih 2km dari Hatongga. Makamnya masih ada di situ sampai sekarang. Semua keturunan Si Langkitang dan Si Baitang yang menyebar di seluruh tanah Mandailing dan di tempat-tempat lain dikenali sebagai orang-orang Mandailing yang bermarga Lubis.
Pada tahun 1963, makam Namora Pande Bosi ditemukan di Hatongga, dengan petunjuk dari keturunan Raja Sigalangan. Makam tokoh legendaris yang sangat terkenal itu terletak di tengah persawahan penduduk setempat. Makam tersebut berada kurang lebih 2km jauhnya dari Jalan Raya Lintas Sumatra yang melalui desa Sigalangan, kurang lebih 14km jauhnya dari kota Padang Sidimpuan (ibu kota Kabupaten Tapanuli Selatan).
Atas usaha sejumlah orang Mandailing bermarga Lubis, kurang lebih 1.6km panjangnya jalan dari desa Sigalangan ke arah makam Namora Pande Bosi sudah dibangunkan sehingga dapat ditempuh dengan kenderaan bermotor (kereta). Tetapi jalan menuju ke makam tersebut, yang panjangnya kurang lebih 232 meter masih harus dibangun supaya dapat dilalui dengan berjalan kaki atau dengan menggunakan kenderaan. Jika jalan yang panjangnya kurang lebih 232 meter tersebut sudah dibangun, maka para penziarah yang selalu banyak berdatangan mengunjungi Namora Pande Bosi, di antaranya dari Malaysia, akan mudah mendatangi makam yang dimuliakan itu. Menurut rencana jalan yang panjangnya 232 meter itu akan dibangun dengan lebar 3 meter.
@copyright
Menurut legendanya, Namora Pande Bosi berasal dari Bugis di Sulawesi Selatan. Dalam pengembaraannya dia sampai ke satu tempat yang bernama Sigalangan di Tapanuli Selatan. Kemudian dia berkahwin dengan puteri raja di tempat tersebut dan terkenal sebagai pandai besi yang mulia. Namora Pande Bosi dan isterinya yang bergelar Nan Tuan Layan Bolan mendapat dua orang anak lelaki yang diberi nama Sutan Borayun dan Sutan Bugis. (Dalam tarombo marga Lubis yang disusun oleh Raja Junjungan pada tahun 1897, ada juga tercatat bahawa nama isteri Namora Pande Bosi ialah Boru Dalimunte Naparila, artinya puteri Dalimnte yang pemalu).
Pada suatu ketika Namora Pande Bosi pergi meyumpit burung ke tengah hutan dan di sana dia bertemu dengan seorang puteri orang bunian dan mengahwininya. Menurut satu cerita, wanita itu adalah orang Lubu (orang asli). Dari perkahwinannya itu, Namora Pande Bosi mendapat dua orang anak lelaki kembar yang masing-masing diberi nama Si Langkitang dan Si Baitang. Ketika kedua anak tersebut masih dalam kandungan, Namora Pande Bosi meninggalkan isterinya dan kembali ke Hatongga. Menjelang dewasa Si Langkitang dan Si Baitang pergi mencari bapa mereka dan menemukannya di Hatongga. Lalu mereka tinggal bersama keluarga bapa mereka di tempat tersebut.
Tidak beberapa lama kemudian, terjadilah perselisihan antara anak-anak Namora Pande Bosi itu dengan anak-anaknya bersama puteri raja Sigalangan. Maka Namora Pande Bosi menyuruh anaknya Si Langkitang dan Si Baitang meninggalkan Hatongga. Mereka disuruhnya pergi ke daerah Mandailing dan jika mereka menemukan tempat di mana terdapat dua sungai yang mengalir dari dua arah yang tepat bertentangan (dalam bahasa Mandailing dinamakan muara patontang) di situlah mereka membuka tempat pemukiman baru.
Setelah lama mengembara akhirnya Si Langkitang dan Si Baitang menemukan muara patontang, lantas mereka membuka pemukiman baru di tempat itu.Tidak lama setelah ditinggalkan anaknya Si Langkitang dan Si Baitang, Namora Pande Bosi meninggal dunia dan dimakamkan di Hatongga. Makam tersebutlah yang akan dipugar. Isterinya Nan Tuan Layan Bolon yang meninggal kemudian dimakamkan di satu tempat yang bernama Hombang Bide, kurang lebih 2km dari Hatongga. Makamnya masih ada di situ sampai sekarang. Semua keturunan Si Langkitang dan Si Baitang yang menyebar di seluruh tanah Mandailing dan di tempat-tempat lain dikenali sebagai orang-orang Mandailing yang bermarga Lubis.
Pada tahun 1963, makam Namora Pande Bosi ditemukan di Hatongga, dengan petunjuk dari keturunan Raja Sigalangan. Makam tokoh legendaris yang sangat terkenal itu terletak di tengah persawahan penduduk setempat. Makam tersebut berada kurang lebih 2km jauhnya dari Jalan Raya Lintas Sumatra yang melalui desa Sigalangan, kurang lebih 14km jauhnya dari kota Padang Sidimpuan (ibu kota Kabupaten Tapanuli Selatan).
Atas usaha sejumlah orang Mandailing bermarga Lubis, kurang lebih 1.6km panjangnya jalan dari desa Sigalangan ke arah makam Namora Pande Bosi sudah dibangunkan sehingga dapat ditempuh dengan kenderaan bermotor (kereta). Tetapi jalan menuju ke makam tersebut, yang panjangnya kurang lebih 232 meter masih harus dibangun supaya dapat dilalui dengan berjalan kaki atau dengan menggunakan kenderaan. Jika jalan yang panjangnya kurang lebih 232 meter tersebut sudah dibangun, maka para penziarah yang selalu banyak berdatangan mengunjungi Namora Pande Bosi, di antaranya dari Malaysia, akan mudah mendatangi makam yang dimuliakan itu. Menurut rencana jalan yang panjangnya 232 meter itu akan dibangun dengan lebar 3 meter.
@copyright
Senin, 21 Maret 2011
Namora Pande Bosi
Oleh Mohammad Said
Mohammad Said, pengarang terkenal termasuk Atjeh Sepanjang Sejarah, memberi tanggapan tentang kemungkinan masa munculnya tokoh Namora Pande Bosi yang dipandang sebagai nenek moyang marga Lubis. "Dalam tahun 1887 diketahui oleh penguasa Belanda bahwa Raja Gunung Tua (Padang Lawas) menyimpan sebuah patung pusaka dari tembaga, dikenal sebagai patung batara Lokanatha. Patung itu diambil Belanda dan kini disimpan di Museum Pusat. Sarnaja Brandes yang segera meneliti patung itu, berhasil memperkenal teksnya huruf Kawi sebagai berikut:
Sarjana tersebut menterjemahkan kalimat permulaaan prasasti di atas ke bahasa Belanda sebagai berikut:
"Heil" Caka-jaren verloopen 946, in de maand Caitra op den derden dag van lichte helft dan de maand of vrijdag, toen heeft Surya, de meester smid did beeld van den). Heere Lokanatha vervaardigd..."
Terjemahan bebas ke bahasa Indonesia demikian:
"Dirgahayu Tahun Caka 946 bulan Caitra, hari ke-3 bertepatan Juma'at dewasa itulah Surya, pandai besi, selesai mengukir (patung) batara Lokanatha ini..."
Diperlihatkan pada teks aslinya tentang tokoh Surya, disebut jurupandai. Pada salinan bahasa Belanda dipertegaskan dengan istilah meester smid, yang artinya tidak lain pandai besi. Ini serta merta mengingatkan kita akan nama Pande Bosi, jelasnya Namora Pande Bosi. Dari ukiran itu dapat dipahami bahwa Suraya telah berhasil membuat patung seorang dewa atau batara yang tentunya untuk dipersonifikasikan menjadi pujaan rakyat dewasa itu. Seorang ahli dan tanpa kuatir akan tertimpa ketulahan menukangi tembaga untuk jadi pujaan, bukannya seorang sembarangan atau tukang biasa saja. Ia tentunya selain ahli adalah juga seorang yang terkemuka, berderajad dan amat disegani. Sedikit banyaknya dengan nama itu biasa juga membuat kita mengarahkan pertanyaan, apakah tokoh itu bukan tokoh zaman dulu yang dikenal rakyat bernama Namora Pande Bosi. Tentunya bukan sekedar kebetulan saja ada seorang jurupandai de meester smid pembuat Lokanatha, sedangkan ada juga Pandai Bosi yang dikenal oleh rakyat dari abad ke abad.
Dari sumber lain dapat ditambahkan, bahwa sebelum Namora Pande Bosi yang bermukim di Hutalobu Hatongga Sigalangan masih ada lagi yang bernama Namora Pande Bosi, yaitu kakek (datuk) dari kakek Namora Pande Bosi yang di Hutalobu tersebut di atas. Namora Pande Bosi I tersebut bermukim di Padang Bolak Ruar Tonga (Sahit ni Huta).
Menoleh latar belakang ini 3 kemungkinan dapat diperkirakan mengenai kapan Namora Pande Bosi itu. Yakni:
1) Zaman Surya tahun 946 atau sekitar tahun 1024 M, karena Surya adalah seorang juru pandai besi
2) Zaman eskpansi Majapahit tahun Caka 1287 (1365 M) karena Gajah Mada mengetahui suatu kerajaan Mandailing yang tentunya dipimpin oleh seorang terkemuka, diperkirakan Namora Pande Bosi
3) Zaman yang lebih muda yaitu hanya sekitar abad ke 16 M. Menurut tambo (stamboom) yang diperbuat atau disimpan oleh Soetan Koemala Boelan.
Mengenai zaman Surya, kemungkinanya dapat diperhatikan dari patung Lokanatha tersebut di mana disebut ada seorang pandai besi bernama Snya. Bahwa nama itu tidak pernah dikenal (baca: tidak pernah disebut-sebut) oleh penduduk, tidaklah merupakan persoalan, sebab adalah biasa bahwa penduduk tidak pernah menyebut nama pribadi tokoh yang dihormati, sehingga apa yang diketahui adalah gelar yang diambil dari keistimewaannya, yaitu Namora Pande Besi. Bahwa jarak zaman itu cukup jauh dengan apa yang sebegitu jauh diketahui oleh penduduk nama keturunan terdekat sesudah Namora Pande Bosi, si Langkitang dan si Baiting (pura kembar Namora Pande Bosi) bukan sesuatu yang mustahil. Karena bukan jarang, sesuatu cerita dari mulut ke mulut bisa saja melangkahi beberapa generasi sebelum sampai kepada si Langkitang dan si Baitang. Atau sesudah si Langkitang dan si Baitang ada lagi beberapa generasi di antaranya sebelum sampai kepada si Alogo Raja Partomuan (yang disebut sebagai anak si Baitang).
Mengenai masa ke-2 (zaman Majapahit), kemungkinannya dapat dilihat dari masa ekspansi kerajaan tersebut ke Mandailing, yaitu sekitar tahun 1365. Bukan mustahil bahwa di bawah Namora Pande Bosilah kerajaan Majapahit terdengar kepada Mangkubumi Gajah Mada, yang membuat ia merencanakan nama Mandailing turun dalam sumpah Palapanya.
Mengenai masa ke-3, bila diambil dari nama tokoh-tokoh yang diketahui menjadi keturunan dinasti Pande Bosi dari sekedar mendapat 12 generasi, sebagai yang dapat diteliti dari silsilah atau keturunan Namora Pande Bosi itu ke sebelah cabang yang menurun kepada Soetan Koemala Boelan, * kalau ini hendak dijadikan pegangan jaraknya dari zaman Namora Pande Bosi sampai Soetan Koemala Boelan hanya sekitar 300 tahun saja.
Mana yang lebih tempat dari 3 masa tersebut, tentu meminta waktu untuk memperoleh penegasannya. Saya sekedar memperlihatkan arah studi. Andai kata Namora Pande Bosi memerintah Tapanuli Selatan termasuk Padang Lawas, mungkin ia pernah beribu kota di Gunung Tua tempat patung Lokanatha disimpan sebagai barang pusaka oleh raja Gunung Tua yang disebut oleh kontroler Belanda ditemunya pada tahun 1885 itu". Kutipan panjang di atas jelas menunjukkan betapa sukarnya mencari kepastian mengenai sejarah dan perkembangan masyarakat Mandailing di masa lalu.
Soetan Koemala Boelan lahir 8 Maret/Mac 1888, meninggal 21 Juni/Jun 1932. Beliau menjadi Raja Panusunan Bulung di Tamiang, Mandailing Julu dari tahun 1915 sampai tahun 1932. Beliau adalah seorang raja marga Lubis keturunan Namora Pande Bosi.
@copyright
Mohammad Said, pengarang terkenal termasuk Atjeh Sepanjang Sejarah, memberi tanggapan tentang kemungkinan masa munculnya tokoh Namora Pande Bosi yang dipandang sebagai nenek moyang marga Lubis. "Dalam tahun 1887 diketahui oleh penguasa Belanda bahwa Raja Gunung Tua (Padang Lawas) menyimpan sebuah patung pusaka dari tembaga, dikenal sebagai patung batara Lokanatha. Patung itu diambil Belanda dan kini disimpan di Museum Pusat. Sarnaja Brandes yang segera meneliti patung itu, berhasil memperkenal teksnya huruf Kawi sebagai berikut:
Sarjana tersebut menterjemahkan kalimat permulaaan prasasti di atas ke bahasa Belanda sebagai berikut:
"Heil" Caka-jaren verloopen 946, in de maand Caitra op den derden dag van lichte helft dan de maand of vrijdag, toen heeft Surya, de meester smid did beeld van den). Heere Lokanatha vervaardigd..."
Terjemahan bebas ke bahasa Indonesia demikian:
"Dirgahayu Tahun Caka 946 bulan Caitra, hari ke-3 bertepatan Juma'at dewasa itulah Surya, pandai besi, selesai mengukir (patung) batara Lokanatha ini..."
Diperlihatkan pada teks aslinya tentang tokoh Surya, disebut jurupandai. Pada salinan bahasa Belanda dipertegaskan dengan istilah meester smid, yang artinya tidak lain pandai besi. Ini serta merta mengingatkan kita akan nama Pande Bosi, jelasnya Namora Pande Bosi. Dari ukiran itu dapat dipahami bahwa Suraya telah berhasil membuat patung seorang dewa atau batara yang tentunya untuk dipersonifikasikan menjadi pujaan rakyat dewasa itu. Seorang ahli dan tanpa kuatir akan tertimpa ketulahan menukangi tembaga untuk jadi pujaan, bukannya seorang sembarangan atau tukang biasa saja. Ia tentunya selain ahli adalah juga seorang yang terkemuka, berderajad dan amat disegani. Sedikit banyaknya dengan nama itu biasa juga membuat kita mengarahkan pertanyaan, apakah tokoh itu bukan tokoh zaman dulu yang dikenal rakyat bernama Namora Pande Bosi. Tentunya bukan sekedar kebetulan saja ada seorang jurupandai de meester smid pembuat Lokanatha, sedangkan ada juga Pandai Bosi yang dikenal oleh rakyat dari abad ke abad.
Dari sumber lain dapat ditambahkan, bahwa sebelum Namora Pande Bosi yang bermukim di Hutalobu Hatongga Sigalangan masih ada lagi yang bernama Namora Pande Bosi, yaitu kakek (datuk) dari kakek Namora Pande Bosi yang di Hutalobu tersebut di atas. Namora Pande Bosi I tersebut bermukim di Padang Bolak Ruar Tonga (Sahit ni Huta).
Menoleh latar belakang ini 3 kemungkinan dapat diperkirakan mengenai kapan Namora Pande Bosi itu. Yakni:
1) Zaman Surya tahun 946 atau sekitar tahun 1024 M, karena Surya adalah seorang juru pandai besi
2) Zaman eskpansi Majapahit tahun Caka 1287 (1365 M) karena Gajah Mada mengetahui suatu kerajaan Mandailing yang tentunya dipimpin oleh seorang terkemuka, diperkirakan Namora Pande Bosi
3) Zaman yang lebih muda yaitu hanya sekitar abad ke 16 M. Menurut tambo (stamboom) yang diperbuat atau disimpan oleh Soetan Koemala Boelan.
Mengenai zaman Surya, kemungkinanya dapat diperhatikan dari patung Lokanatha tersebut di mana disebut ada seorang pandai besi bernama Snya. Bahwa nama itu tidak pernah dikenal (baca: tidak pernah disebut-sebut) oleh penduduk, tidaklah merupakan persoalan, sebab adalah biasa bahwa penduduk tidak pernah menyebut nama pribadi tokoh yang dihormati, sehingga apa yang diketahui adalah gelar yang diambil dari keistimewaannya, yaitu Namora Pande Besi. Bahwa jarak zaman itu cukup jauh dengan apa yang sebegitu jauh diketahui oleh penduduk nama keturunan terdekat sesudah Namora Pande Bosi, si Langkitang dan si Baiting (pura kembar Namora Pande Bosi) bukan sesuatu yang mustahil. Karena bukan jarang, sesuatu cerita dari mulut ke mulut bisa saja melangkahi beberapa generasi sebelum sampai kepada si Langkitang dan si Baitang. Atau sesudah si Langkitang dan si Baitang ada lagi beberapa generasi di antaranya sebelum sampai kepada si Alogo Raja Partomuan (yang disebut sebagai anak si Baitang).
Mengenai masa ke-2 (zaman Majapahit), kemungkinannya dapat dilihat dari masa ekspansi kerajaan tersebut ke Mandailing, yaitu sekitar tahun 1365. Bukan mustahil bahwa di bawah Namora Pande Bosilah kerajaan Majapahit terdengar kepada Mangkubumi Gajah Mada, yang membuat ia merencanakan nama Mandailing turun dalam sumpah Palapanya.
Mengenai masa ke-3, bila diambil dari nama tokoh-tokoh yang diketahui menjadi keturunan dinasti Pande Bosi dari sekedar mendapat 12 generasi, sebagai yang dapat diteliti dari silsilah atau keturunan Namora Pande Bosi itu ke sebelah cabang yang menurun kepada Soetan Koemala Boelan, * kalau ini hendak dijadikan pegangan jaraknya dari zaman Namora Pande Bosi sampai Soetan Koemala Boelan hanya sekitar 300 tahun saja.
Mana yang lebih tempat dari 3 masa tersebut, tentu meminta waktu untuk memperoleh penegasannya. Saya sekedar memperlihatkan arah studi. Andai kata Namora Pande Bosi memerintah Tapanuli Selatan termasuk Padang Lawas, mungkin ia pernah beribu kota di Gunung Tua tempat patung Lokanatha disimpan sebagai barang pusaka oleh raja Gunung Tua yang disebut oleh kontroler Belanda ditemunya pada tahun 1885 itu". Kutipan panjang di atas jelas menunjukkan betapa sukarnya mencari kepastian mengenai sejarah dan perkembangan masyarakat Mandailing di masa lalu.
Soetan Koemala Boelan lahir 8 Maret/Mac 1888, meninggal 21 Juni/Jun 1932. Beliau menjadi Raja Panusunan Bulung di Tamiang, Mandailing Julu dari tahun 1915 sampai tahun 1932. Beliau adalah seorang raja marga Lubis keturunan Namora Pande Bosi.
@copyright
Langganan:
Postingan (Atom)