Minggu, 26 Juni 2016

(Desa) Sihuik-huik, Angkola Selatan

Bukit Sihuik-huik
Sihuik-huik sekarang ini adalah nama sebuah desa di Tapanuli Selatan. Desa ini tepat berada dalam jalur Bukit Barisan Pulau Sumatera. Nama desa ini juga mempunyai cerita asal-muasalnya. Menurut cerita, Sihuik-huik adalah nama sebuah bukit, yaitu bukit (dolok) Sihuik-huik. Bukit ini berada sebelah timur desa ini. Dibukit ini juga terdapat suatu sungai yang juga dinamakan dengan sungai Sihuik-huik, mungkin karena mengalir dari bukit ini. Selanjutnya sungai ini bermuara dan mengikuti sungai Bulusoma. Sungai bulusoma ini mengalir dan bermuara dengan sungai Silaing (Batang Salae).


Areal persawahan Sihuik-huik, muara pertemuan sungai bulusoma dengan salae
Seperti desa lainnya didaerah ini, selain bukit, ikon lainnya adalah sungai. Sungai yang menjadi ikon Sihuik-huik adalah Batang Salae, dimana lima dari sepuluh dusun didesa ini mengikuti alur sungai ini. Dipinggiran muara pertemuan sungai ini dengan sungai Bulusoma terdapat tanah yang membentuk segitiga mengikuti alur sungai Batang Salae sampai ke dusun Aeknadenggan. Tanah itu tidak begitu datar sebenarnya, konturnya masih mengikuti kaki perbukitan pegunungan di Bukit Barisan. Tetapi karena letak tanah ini masih dibawah aliran sungai bulusoma di hulunya, maka dibangunlah irigasi untuk mengairi area segitiga yang memanjang itu hingga menjadi areal persawahan. Dan lagi-lagi area persawahan ini dinamai dengan sihuik-huik. Mungkin karena merunut pada nama bukit yang mengalirkan sungai yang juga turut mengairi area persawahan ini.

Perkembangan selanjutnya nama area persawahan ini semakin terkenal karena hasil padinya yang memenuhi sumber pangan utama desa ini. Jadi, dulunya orang disana saling sapa, “Giot tudia do hamu?” dijawab dengan, “Giot tu sihui-huik” yang merujuk pada area persawahan itu. Mungkin atas pertimbangan itu orang-orang generasi pertama didaerah ini mengusulkan untuk mengabadikan nama daerah ini menjadi desa Sihuik-huik kepada Pemerintah Tapanuli Selatan ketika itu. Jadi cerita desa Sihuik-huik hampir sama dengan cerita pembentukan wilayah pemukiman dari zaman dahulu kala, dimana pada umumnya pemukiman itu yang dekat dengan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan hidup, yaitu air, lokasi sumber makanan / area pertanian.

Kata Sihuik-huik
Saya pernah mendengar ketika masih kecil kata ini asalnya dari bunyi burung elang yang sedang terbang diatas ketika mencari mangsa. Bunyinya mungkin seperti ini, “Kuiiiik-kuiiiiik - Kuiiiik-kuiiiiik - Kuiiiik-kuiiiiik”. Karena dalam bahasa Madailing atau Angkola kosa kata sihuik-huik tidak ada. Penambahan kata “si” dalam bahasa Angkola sudah umum yang menguatkan (menunjukkan)  kata-kata didepannya. Jadi mungkin orang-orang generasi pertama didesa ini menamai bukit itu dengan nama bukit sihuik-huik bermaksud pada bukit elang. Makna dari kata ini mungkin adalah kesunyian yang dialami generasi pertama didaerah ini. Kesunyian itu disambut dengan suara burung elang yang terbang dari bukit dan mengitari daerah ini.

Administrasi
Aekkapur (Muarabangun) salah satu dusun.
Tahun 1980-an desa ini masuk wilayah kecematan Padang Sidempuan Barat kabupaten Tapanuli Selatan. Setelah itu berganti menjadi masuk wilayah kecematan Siais. Dan terakhir sekarang berganti lagi menjadi wilayah kecamatan angkola selatan. Luas desa ini adalah 25,25 km persegi dengan jumlah penduduk 2.703 jiwa (data statistik Kecamatan Angkola Selatan tahun 2015). Pada umumnya penduduknya adalah islam suku angkola. Sekarang desa ini memliki 10 anak desa (dusun), yaitu Aekkapur, Doloksanggul, Sisakkil, Sirpang Bulusoma, Bulusoma, Aeknadenggan, dan lain-lain. Jarak desa ini sekitar 15km dari ibu kota kecamatan Napa, dan sekitar 20km dari kota Padang Sidempuan.


Ekonomi
Sumber utama penggerak desa ini dan sekitarnya adalah pertanian dan hasil hutan. Generasi pertama sampai didaerah ini sekitar dekade 1950-an. Generasi ini lebih mengandalkan pertanian, karena ketika itu hasil hutan belum begitu memiliki pasar. Tujuan utama mereka disamping mencari ikan dan menanam padi juga untuk berkebun nilam. Ketika itu minyak nilam merupakan komoditi mahal.

Setelah era nilam, akhir dekade 1970-an generasi kedua daerah ini sudah mulai dewasa. Generasi ini sudah tidak tertarik dengan bertanam nilam, mungkin karena harganya merosot atau proses penyulingannya sulit. Generasi ini mengubah cocok tanamya, setelah menanam padi pada dua tahun awal, berikutnya mereka menanam karet. Sehingga generasi ini rata-rata memiliki lahan karet. Pada masa generasi ini juga jalan dibangun melalui program ABRI Masuk Desa (AMD) era Orde Baru Presiden Soeharto. Pembangunan akses jalan itu hingga dapat dilalui kenderaan bermotor meningkatkan nilai komoditi hasil hutan, sehingga generasi ini memiliki mata pencaharian sampingan yang memiliki nilai ekonmi tinggi. Beberapa komoditi hasil hutan adalah rotan, damar dan kayu. Rotan dalam bahasa angkola adalah hotang. Beberapa nama rotan yang umu dikenal adalah tarittin, sogo, maldo, sihim, rumunan, dan lain-lain. Setelah pembukaan akses jalan, segera setelah itu perusahaan masuk untuk mengeksploitasi kayu hutan. Tetapi hasil hutan ini tidak memberikan kontribusi yang berarti untuk desa ini.

Dan akhir dekade 1990-an generasi ketiga sudah mulai mengganti beberapa kebun karet menjadi kebun sawit. Mungkin generasi ini beranggapan sawit komoditas dengan nilai ekonomi yang lebih tinggi dan tidak dipengaruhi oleh cuaca seperti karet. Sehingga lahan nilam pada data statistik Kecamatan Angkola Selatan tahun 2015 sudah tidak ada, karet 4.917 hektare dan sawit 4.080 hektare. Hasil hutan pada generasi ini sudah menipis. Generasi ini beranggapan mencari hasil hutan hanya buang waktu. Karena harga karet merosot beberapa tahun terakhir ini, generasi ini mulai memikirkan sumber penggerak yang lain, dan menemukan jawabannya dalam mencari hasil bumi. Hingga sekarang ini banyak terdapat penambangan liar untuk mencari bijih emas. Pegunungan disekitar desa ini juga sudah eksplorasi oleh beberapa perusahaan multinasional, dan beberapa orang dari generasi ini menjaadi tim eksplorasi tersebut.

Sosial
Kegiatan sosial didesa ini mempunyai beberapa penyebutan, diantaranya marsialapari, marpegepege, martahi, wirid yasin, STM, mangaji, lubuk larangan. Marsialapari maksudnya bekerjasama (gotongroyong). Misalnya dikampung itu ada 8 kepala keluarga, kedelapan kepala keluarga itu secara bergantian mengejakan bersama-sama setiap kebun kepala keluarga itu. Hasilnya memang melebihi hasil apabila dikerjakan sendirian selama 8 hari. Marpege-pege maksdunya adalah kegiatan membantu dana untuk pelaksanaan resepsi pernikahan. Martahi maksudnya adalah musyawarah. Kegiatan ini umum dilakukan oleh setiap kepala keluarga apabila akan melaksanakan suatu acara adat ataupun yang lainnya. Wirid yasin adalah kegiatan ibu-ibu. Kegiatan ini biasanya memiliki kas. Dari kegiatan ini bisa memenuhi keperluan peralatan memasak dan lain sebagainya milik bersama yang digunakan saat acara adat atau yang lainnya di suatu keluarga. STM dimaksudkan untuk penyelesaian fardu kifayah suatu jenazah bagi yang muslim. Pada umumnya penduduk desa ini adalah muslim. Mangaji adalah kegiatan belajar juz amma. Juz amma disebut dengan alif-alif. Belajar ini tidak dipungut biaya. Hanya membawa minyak lampu sebotol limun seminggu. Minyak itu dipergunakan untuk operasional penerangan lampu strongkeng. Belajar mengaji ini dirumah malim kampung. Malim adalah orang yang mengurusi dan imam masjid.


Salah satu Lubuk Larangan di DAS Batang Salae.
Lubuk Larangan maksudnya larangan mengambil ikan dalam suatu lubuk, hanya lubuk. Antara lubuk boleh diambil ikannya. Ini merupakan tradisi melestarikan yang memiliki nilai sosial. Larangan ini biasanya dalam jangka waktu tertentu, biasanya setahun dengan waktu menjelang puasa. Dulu ikannya dibagi rata setiap rumahtangga, namun seiring perkembangan zaman sekarang sudah dimodifikasi semacam sumber dana untuk pembangunan masjid atau keperluan sosial desa.

Makanan
Warga sedang memperbaiki jalanya.
Sumber karbohidrat utama desa ini adalah padi dari persawahan sihuik-sihuik dan beberapa areal persawahan kecil didusun serta ladang padi tadah hujan. Produksi cukup untuk memenuhi kebutuhan warga desa ini setahun. Sedangkan protein pada umumnya dari batang salae. Beberapa jenis ikan yang umum dikenal adalah mera, garing, halu, cen-cen, lelan, lappam, habaro, gappual, haporas, sulum, limbat, haruting, bujuk, inggit-inggit, sibodil, mirik, udang, dan lain-lain. Berbagai alat tangkap ikan yang umum adalah jala, petok, kail, jaring, dan lain-lain. Ikan-ikan itu selalu menghiasi hidangan makan setiap rumah tangga didesa ini. Selain dari sungai, sumber protein lain adalah hewan hasil berburu atau jerat. Jerat biasanya hasilnya rusa tetapi sangat jarang. Yang sering dilakukan adalah berburu pada malam hari dengan menggunakan senapan angin dan senter. Hasilnya adalah landuk (kancil). Untuk sayuran biasanya setiap ruah tangga mempunyai ladang sendiri atau menanamnya disekitar pekarangan rumah.

Makanan saat lebaran. Lebaran dalam bahasa angkola disebut dengan arrayo. Makanan yang umum didapat saat lebaran adalah alame, lomang, tuangan, wajid, kue bawang, kacang tojen, lapan-lapan, dan lain sebagainya. Alame adalah dodol. Ini adalah makanan yang proses pembuatannya sangat melelahkan dengan rasa yang kurang begitu enak, tetapi memiliki daya tahan yang lama. Tempat penyimpanannya disebut parindahanan, biasanya terbuat dari anyaman pandan untuk menampung kue ini kira-kira setengan kilogram. Tiga bulan setelah lebaran alame ini masih ada, kalaupun bagian luarnya sudah berjamur, jamurnya dibuang dan dibakar lagi untuk dimakan. Hehehe.....!

(Semasa) Sekolah
Foto Sewaktu SD_001.jpg
Kondisi SDN 142449/1000203 Hutabaru (1992)
Semasa saya SD, didesa ini hanya terdapat satu sekolah, yaitu SD Negeri 142449 Hutabaru. Sekarang SD ini sudah berganti nomor menjadi SD Negeri 1000203 Hutabaru yang terletak di dusun Aeknadenggan. Anak-anak dari dusun Akkapur, Sisakkil (Siondop Julu), Bulusoma, dan Doloksanggul harus berjalan kaki rata-rata sekitar 5 km untuk mencapai sekolah ini. Belakangan ketika saya menyelesaikan SD, sudah dibuka suatu pesantren, namanya adalah Pesantren Modern Al-Abrar. Banyak teman setamatan saya waktu SD masuk dan menjadi alumni pertama pesantren ini. Pesantren ini menyediakan pendidikan hingga setingkat SMA. Sekarang sudah dibangun SMP Negeri di Kelurahan Garonggang yang berbatasan dengan desa ini.

Kesehatan
Sekitar tahun 1992 didesa ini sudah dibangun Puskesmas Pembantu. Sebelumnya berobat hanya difasilitasi seorang mantri yang mempunyai jadwal sekali dalam seminggu mengunjungi desa ini dan sekitarnya. Maka tidak jarang masyarakat lebih memilih dukun. Dukun dalam bahasa angkola adalah datu. Biasanya dukun itu mempunyai beberapa resep obat yang akan dicari oleh keluarga yang sakit yang disebut dengan pulungan. Tetapi tidak jarang juga kita menemukan kesembuhan dari dukun. Beberapa istilah sakit adalah marun (demam), magis (kurang enak badan), tarsapu (kena tegur orang halus / panas tinggi), dan lain sebagainya. Kalau demam biasanya diminumkan air perasan daun galunggung, warnaya kecoklatan dan rasanya pahit. Sekarang fasiltas kesehatan sudah semakin berkembang terutama bagi ibu-ibu untuk mengurangi angka kematian ibu melahirkan. Program-program posyandu juga sudah rutin dilaksanakan. Sumber air bersih. Dulu sumber air bersih adalah alur sungai kecil (rura) yang dialirkan melalui selang dan ditampung ke suatu bak semen yang dibangun dekar masjid. Sumber air bersih ini dikenal dengan nama pancur. Sekarang sudah dibangun pemkab Tapanuli Selatan sumur bor disetiap dusun desa ini. Untuk madi dan mck warga desa ini pada umumnya mengandalkan batang salae.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar