Sumber bacaan: wikipedia
Suku Angkola adalah suku bangsa Indonesia yang mendiami daerah Angkola di Kabupaten Tapanuli Selatan, Propinsi Sumtera Utara. Nama Angkola berasal dari nama sungai di Angkola yaitu sungai (batang) Angkola. Menurut cerita, sungai ini dinamai oleh Rajendra Kola (Chola) I, penguasa kerajaan Chola (1014-1044M) di India Selatan ketika itu yang masuk melalui Padang Lawas.
Daerah di sebelah selatan Batang Angkola diberi nama Angkola Jae (Hilir) dan sebelah utara Angkola Julu (Hulu). Kemudian orang-orang dari kerajaan Chola meninggalkan Angkola disaat wabah lepra mewabah.
Oppu Jolak Maribu yang bermarga Dalimunthe adalah tokoh Angkola berikutnya yang muncul sepeninggal kekuasaan Rajendra Chola I. Kemudian untuk pertama kalinya dia mendirikan huta (kampung) Sitamiang. Berikutnya seperti Pargarutan yang artinya tempatnya mengasah pedang. Tanggal yaitu tempatnya menaggalkan hari/tempat kalender batak, dan lain-lain.
Kemudian masuklah suku-suku lain dari segala penjuru ke wilayah Angkola. Marga yang mendiami Angkola pada umumnya adalah Dalimunthe, Harahap, Siregar, Ritonga, Daulay, dan lainnya. Angkola mendapat pengaruh Islam dari Tuanku Lelo yang menyebarkan Islam dalam misi Padri (1821) dari Minangkabau.
(Tentang) Radjendra Chola I
Sumber Bacaan: wikipedia
Kerajaan Chola muncul tahun 985 Masehi. Menurut sejarawan Herman Kulke dalam buku Nagapattinam to Suvarnadwipa, Reflections on the Chola Naval Expeditions to Southeast Asia merupakan salah satu dinasti terkuat di dunia pada abad ke-10. Kekuatan superpower lain kala itu adalah Dinasti Fatimiyah di Mesir yang muncul tahun 969 Masehi dan Dinasti Sung di Tiongkok yang muncul tahun 960 Masehi. Kerajaan Chola terletak di India selatan.
Rajendra Chola I (1014-1044) adalah putra Rajaraja Chola I yang menjadi raja Chola pada tahun 1014. Selama kekuasaannya, ia memperluas kekuasaan Chola ke tepi sungai Gangga di utara. Wlayah Rajendra mencapai Burma, Kepulauan Andaman dan Nikobar, Lakshadweep, Maladewa, menaklukan Sriwijaya (Sumatra, Jawa dan Semenanjung Malaya di Asia Tenggara), dan kepulauan Pegu.
Ia menaklukan Mahipala, raja Pala dari Benggala dan Bihar, dan untuk mengenang kemenangannya ia membangun ibukota barunya yang disebut Gangaikonda Cholapuram. Rajendra adalah raja India pertama yang membawa angkatan bersenjatanya ke luar negeri. Ia juga membangun kuil untuk Siwa di Gangaikonda Cholapuram.
Penaklukan Sriwijaya
Sumber Bacaan: Harian Kompas
Herman Kulke menulis, Kerajaan Chola yang mengirim utusan ke Tiongkok pada 1015 mendapat informasi intelijen tentang kekuatan Sriwijaya saat singgah di Sumatera. Informasi itu menjadi dasar serangan kekuatan laut Raja Rajendra Chola I tahun 1025 ke Sriwijaya (Palembang), Malayu (Jambi), Pannai di sekitar Riau Daratan dan wilayah yang kini jadi Malaysia modern di Kadaram (Kedah), Ilangasokam di Trengganu-Pattani. Serangan itu memorakporandakan Semenanjung Malaya dan Sumatera.
Situasi damai tercipta di Semenanjung Malaya setelah serangan Kerajaan Chola. Kerajaan Malaka (1402) yang dipimpin Parameswara, seorang keturunan Majapahit yang berasal dari Sumatera, menjadi kekuatan perdagangan di kawasan tersebut.
Kerajaan Pannai
Sumber bacaan: wikipedia
Kerajaan Pannai atau Panai merupakan kerajaan Budhhis yang pernah berdiri pada abad ke-11 sampai ke-14 di Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta), sekarang. Sebagai kerajaan kecil, kemungkinan ia merupakan vazal (daerah koloni) dari Kerajaan Sriwijaya atau Dharmasraya.
Keberadaan kerajaan ini diketahui dari prasasti berbahasa Tamil berangka tahun 1025 dan 1030 Saka yang dibuat Raja Rajendra Chola I, di India Selatan, yang menyebutkan tentang penyerangan ke Sriwijaya. Kitab Nagarakertagama, naskah kuno Kerajaan Majapahit tulisan Empu Prapanca tahun 1365 Saka, juga menyebutkan kerajaan ini. Kerajaan ini meninggalkan satu komplek percandian Padanglawas, sebanyak 16 bangunan, misalnya Candi Bahal.
Sultan Panai Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM De zelfbestuurder van Panei in zijn paleis Asahan Noordoost-Sumatra. Berkas ini disediakan untuk Wikimedia Commons.
Nama Panai sendiri banyak terdapat di berbagai wilayah di Sumatera. Misalnya di Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara terdapat tiga kecamatan menggunakan nama "Panai" yaitu Kecamatan Panai Tengah, Hulu dan Hilir. Apakah ada hubungan antara nama suku Panai dengan semua hal itu masih perlu penelitian lebih lanjut.
rumah adat itu, rumah adat Mandailing, bukan Angkola
BalasHapusSaya kira rumah adat akkola dan mandailing tak jauh beda (tak ada beda). Akkola dan mandailing jgn pula bentrok bisa garagara ini. Mandailing sangat beruntung tokoh-tokohnya berani vokal tidak mengakui mandailing berasal dari toba, atau bagian dari "Batak" seperti klaim orang-orang toba. Padahal batak hanya sebutan orang pesisir ke orang pedalaman yg artinya kasar,tidak beradab, dan tak tahu malu. Dan misionaris itu melekatkan "Batak" ke semua orang (tdk beradab) agar lebih mudah diberadabkan dgn "adab kristen." TRIms.
HapusKalau perihal jolak maribu membuka kampung sitamiang, atau tentang tanggal dan pargarutan, saya kira itu hanya upaya iseng orang untuk mengadu domba harahap dan dalimunthe. Sebab, faktanya harahap itu raja akkola tengah, dalimunthe ke selatan berbatasan dengan Mandailing. Sedangkan ke utara (maraccar dan sekitarnya) itu untuk anakboru (siregar akkola). Kalaupun ada marga yg lain jd raja, itu raja pamusuk.
BalasHapusAngkola itu terbagi tiga. pertama Angkola wilayah sekitar kota Padang Sidempuan sampai ke Tabusira, Angkola Julu yaitu Batang Toru dan sekitarnya, Angkola Jae dari Sigalangan s.d Silaiya kiri kanan Batang Angkola. Padang Lawas Utara merupakan tanah perpindahan penduduk sebagian besar dan yang mula2 datang dari Angkola, tapi belakangan datang dari berbagai wilayah mulai dari Mandailing, Toba, dan Sumatera Timur.
BalasHapus