Kitab Nagarakretagama yang mencatat perluasan wilayah Majapahit sekitar 1365 M, menyebut nama Mandailing. Munculnya nama Mandailing pada suku akhir abad ke 14 menunjukkan adanya satu bangsa dan wilayah bernama Mandailing, yang barangkali telah muncul sebelum abad itu lagi.
Dengan demikian "tidak disangsikan lagi bahwa bersandar ungkapan dalam kakawin itu yang dapat diperkirakan sesuai dengan perkembangan sejarah, di Mandailing sudah berkembang suatu masyarakat yang homogen. Dan sebagai wilayah lain di Sumatra yang diungkapkan oleh Prapanca (dalam Nagarakretagama) seperti Minangkabau, Siak, Panai, Aru dan lain-lain, demikian Mandailing bahwa masyarakatnya yang tumbuh itu, entah luas, besar ataupun kecil, terphimpun dalam suatu ketatanegaraan kerajaan".
Setelah nama Mandailing dicatat dalam kitab Nagarakretagama di abad ke 14, kemudian beberapa abad berikutnya tak ada lagi nama Mandailing disebut. Selama lebih lima abad lamanya Mandailing seakan-akan hilang sejarahnya. Baru pada abad ke 19 ketika Belanda mulai menguasai Mandailing, baru berbagai tulisan mengenainya dan masyarakatnya dibuat oleh beberapa pejabat kolonial.
Mandailing bertempat tinggal di pendalaman pesisir pantai barat pulau Sumatra dengan sistem pemerintahan tradisional, tradisi persawahan, pengembalaan kerbau, pelombongan/penambangan mas, persenjataan dan perairan. Kaya dengan mitologi asal-usul marga, Mandailing tercatat dalam kita Nagarakertagama pada abad ke 14, namun sulit mendapatkan catatan sejarah mengenai mereka. Tanah ibunda Mandailing dibagi kepada Mandailing Godang dan Mandailing Julu.
Masyarakat Mandailing diatur dengan menggunakan sistem sosial Dalian na Tolu (Tumpuan Yang Tiga) - merujuk kepada aturan kekerabatan marga - yang diikat menerusi perkawinan dan prinsip Olong Dohot Domu (Kasih Sayang dan Keakraban). Sistem pemerintahan Mandailing demokratis dan egalitar. Lembaga pemerintahan Na Mora Na Toras (Yang Dimuliakan dan Dituakan) memastikan keadilan dan kepemimpinan yang dinamis. Gordang Sambilan adalah gendang adat yang terdiri dari sembilan buah gendang yang relatif besar dan panjang, dan digunakan dalam ucapcara perkawinan, penabalan dan kematian. Sabe-Sabe selendang istiadat dipakai untuk upacara adat dan untuk tarian adat yang disebut Tor-Tor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar