Sumber bacaan: wikipedia
Suku Angkola adalah suku bangsa Indonesia yang mendiami daerah Angkola di Kabupaten Tapanuli Selatan, Propinsi Sumtera Utara. Nama Angkola berasal dari nama sungai di Angkola yaitu sungai (batang) Angkola. Menurut cerita, sungai ini dinamai oleh Rajendra Kola (Chola) I, penguasa kerajaan Chola (1014-1044M) di India Selatan ketika itu yang masuk melalui Padang Lawas.
Daerah di sebelah selatan Batang Angkola diberi nama Angkola Jae (Hilir) dan sebelah utara Angkola Julu (Hulu). Kemudian orang-orang dari kerajaan Chola meninggalkan Angkola disaat wabah lepra mewabah.
Oppu Jolak Maribu yang bermarga Dalimunthe adalah tokoh Angkola berikutnya yang muncul sepeninggal kekuasaan Rajendra Chola I. Kemudian untuk pertama kalinya dia mendirikan huta (kampung) Sitamiang. Berikutnya seperti Pargarutan yang artinya tempatnya mengasah pedang. Tanggal yaitu tempatnya menaggalkan hari/tempat kalender batak, dan lain-lain.
Kemudian masuklah suku-suku lain dari segala penjuru ke wilayah Angkola. Marga yang mendiami Angkola pada umumnya adalah Dalimunthe, Harahap, Siregar, Ritonga, Daulay, dan lainnya. Angkola mendapat pengaruh Islam dari Tuanku Lelo yang menyebarkan Islam dalam misi Padri (1821) dari Minangkabau.
(Tentang) Radjendra Chola I
Sumber Bacaan: wikipedia
Kerajaan Chola muncul tahun 985 Masehi. Menurut sejarawan Herman Kulke dalam buku Nagapattinam to Suvarnadwipa, Reflections on the Chola Naval Expeditions to Southeast Asia merupakan salah satu dinasti terkuat di dunia pada abad ke-10. Kekuatan superpower lain kala itu adalah Dinasti Fatimiyah di Mesir yang muncul tahun 969 Masehi dan Dinasti Sung di Tiongkok yang muncul tahun 960 Masehi. Kerajaan Chola terletak di India selatan.
Rajendra Chola I (1014-1044) adalah putra Rajaraja Chola I yang menjadi raja Chola pada tahun 1014. Selama kekuasaannya, ia memperluas kekuasaan Chola ke tepi sungai Gangga di utara. Wlayah Rajendra mencapai Burma, Kepulauan Andaman dan Nikobar, Lakshadweep, Maladewa, menaklukan Sriwijaya (Sumatra, Jawa dan Semenanjung Malaya di Asia Tenggara), dan kepulauan Pegu.
Ia menaklukan Mahipala, raja Pala dari Benggala dan Bihar, dan untuk mengenang kemenangannya ia membangun ibukota barunya yang disebut Gangaikonda Cholapuram. Rajendra adalah raja India pertama yang membawa angkatan bersenjatanya ke luar negeri. Ia juga membangun kuil untuk Siwa di Gangaikonda Cholapuram.
Penaklukan Sriwijaya
Sumber Bacaan: Harian Kompas
Herman Kulke menulis, Kerajaan Chola yang mengirim utusan ke Tiongkok pada 1015 mendapat informasi intelijen tentang kekuatan Sriwijaya saat singgah di Sumatera. Informasi itu menjadi dasar serangan kekuatan laut Raja Rajendra Chola I tahun 1025 ke Sriwijaya (Palembang), Malayu (Jambi), Pannai di sekitar Riau Daratan dan wilayah yang kini jadi Malaysia modern di Kadaram (Kedah), Ilangasokam di Trengganu-Pattani. Serangan itu memorakporandakan Semenanjung Malaya dan Sumatera.
Situasi damai tercipta di Semenanjung Malaya setelah serangan Kerajaan Chola. Kerajaan Malaka (1402) yang dipimpin Parameswara, seorang keturunan Majapahit yang berasal dari Sumatera, menjadi kekuatan perdagangan di kawasan tersebut.
Kerajaan Pannai
Sumber bacaan: wikipedia
Kerajaan Pannai atau Panai merupakan kerajaan Budhhis yang pernah berdiri pada abad ke-11 sampai ke-14 di Kabupaten Padang Lawas Utara (Paluta), sekarang. Sebagai kerajaan kecil, kemungkinan ia merupakan vazal (daerah koloni) dari Kerajaan Sriwijaya atau Dharmasraya.
Keberadaan kerajaan ini diketahui dari prasasti berbahasa Tamil berangka tahun 1025 dan 1030 Saka yang dibuat Raja Rajendra Chola I, di India Selatan, yang menyebutkan tentang penyerangan ke Sriwijaya. Kitab Nagarakertagama, naskah kuno Kerajaan Majapahit tulisan Empu Prapanca tahun 1365 Saka, juga menyebutkan kerajaan ini. Kerajaan ini meninggalkan satu komplek percandian Padanglawas, sebanyak 16 bangunan, misalnya Candi Bahal.
Sultan Panai Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM De zelfbestuurder van Panei in zijn paleis Asahan Noordoost-Sumatra. Berkas ini disediakan untuk Wikimedia Commons.
Nama Panai sendiri banyak terdapat di berbagai wilayah di Sumatera. Misalnya di Kabupaten Labuhanbatu, Sumatera Utara terdapat tiga kecamatan menggunakan nama "Panai" yaitu Kecamatan Panai Tengah, Hulu dan Hilir. Apakah ada hubungan antara nama suku Panai dengan semua hal itu masih perlu penelitian lebih lanjut.
Selasa, 22 Maret 2011
Mandailing Dalam Sejarah
Kitab Nagarakretagama yang mencatat perluasan wilayah Majapahit sekitar 1365 M, menyebut nama Mandailing. Munculnya nama Mandailing pada suku akhir abad ke 14 menunjukkan adanya satu bangsa dan wilayah bernama Mandailing, yang barangkali telah muncul sebelum abad itu lagi.
Dengan demikian "tidak disangsikan lagi bahwa bersandar ungkapan dalam kakawin itu yang dapat diperkirakan sesuai dengan perkembangan sejarah, di Mandailing sudah berkembang suatu masyarakat yang homogen. Dan sebagai wilayah lain di Sumatra yang diungkapkan oleh Prapanca (dalam Nagarakretagama) seperti Minangkabau, Siak, Panai, Aru dan lain-lain, demikian Mandailing bahwa masyarakatnya yang tumbuh itu, entah luas, besar ataupun kecil, terphimpun dalam suatu ketatanegaraan kerajaan".
Setelah nama Mandailing dicatat dalam kitab Nagarakretagama di abad ke 14, kemudian beberapa abad berikutnya tak ada lagi nama Mandailing disebut. Selama lebih lima abad lamanya Mandailing seakan-akan hilang sejarahnya. Baru pada abad ke 19 ketika Belanda mulai menguasai Mandailing, baru berbagai tulisan mengenainya dan masyarakatnya dibuat oleh beberapa pejabat kolonial.
Mandailing bertempat tinggal di pendalaman pesisir pantai barat pulau Sumatra dengan sistem pemerintahan tradisional, tradisi persawahan, pengembalaan kerbau, pelombongan/penambangan mas, persenjataan dan perairan. Kaya dengan mitologi asal-usul marga, Mandailing tercatat dalam kita Nagarakertagama pada abad ke 14, namun sulit mendapatkan catatan sejarah mengenai mereka. Tanah ibunda Mandailing dibagi kepada Mandailing Godang dan Mandailing Julu.
Masyarakat Mandailing diatur dengan menggunakan sistem sosial Dalian na Tolu (Tumpuan Yang Tiga) - merujuk kepada aturan kekerabatan marga - yang diikat menerusi perkawinan dan prinsip Olong Dohot Domu (Kasih Sayang dan Keakraban). Sistem pemerintahan Mandailing demokratis dan egalitar. Lembaga pemerintahan Na Mora Na Toras (Yang Dimuliakan dan Dituakan) memastikan keadilan dan kepemimpinan yang dinamis. Gordang Sambilan adalah gendang adat yang terdiri dari sembilan buah gendang yang relatif besar dan panjang, dan digunakan dalam ucapcara perkawinan, penabalan dan kematian. Sabe-Sabe selendang istiadat dipakai untuk upacara adat dan untuk tarian adat yang disebut Tor-Tor.
Dengan demikian "tidak disangsikan lagi bahwa bersandar ungkapan dalam kakawin itu yang dapat diperkirakan sesuai dengan perkembangan sejarah, di Mandailing sudah berkembang suatu masyarakat yang homogen. Dan sebagai wilayah lain di Sumatra yang diungkapkan oleh Prapanca (dalam Nagarakretagama) seperti Minangkabau, Siak, Panai, Aru dan lain-lain, demikian Mandailing bahwa masyarakatnya yang tumbuh itu, entah luas, besar ataupun kecil, terphimpun dalam suatu ketatanegaraan kerajaan".
Setelah nama Mandailing dicatat dalam kitab Nagarakretagama di abad ke 14, kemudian beberapa abad berikutnya tak ada lagi nama Mandailing disebut. Selama lebih lima abad lamanya Mandailing seakan-akan hilang sejarahnya. Baru pada abad ke 19 ketika Belanda mulai menguasai Mandailing, baru berbagai tulisan mengenainya dan masyarakatnya dibuat oleh beberapa pejabat kolonial.
Mandailing bertempat tinggal di pendalaman pesisir pantai barat pulau Sumatra dengan sistem pemerintahan tradisional, tradisi persawahan, pengembalaan kerbau, pelombongan/penambangan mas, persenjataan dan perairan. Kaya dengan mitologi asal-usul marga, Mandailing tercatat dalam kita Nagarakertagama pada abad ke 14, namun sulit mendapatkan catatan sejarah mengenai mereka. Tanah ibunda Mandailing dibagi kepada Mandailing Godang dan Mandailing Julu.
Masyarakat Mandailing diatur dengan menggunakan sistem sosial Dalian na Tolu (Tumpuan Yang Tiga) - merujuk kepada aturan kekerabatan marga - yang diikat menerusi perkawinan dan prinsip Olong Dohot Domu (Kasih Sayang dan Keakraban). Sistem pemerintahan Mandailing demokratis dan egalitar. Lembaga pemerintahan Na Mora Na Toras (Yang Dimuliakan dan Dituakan) memastikan keadilan dan kepemimpinan yang dinamis. Gordang Sambilan adalah gendang adat yang terdiri dari sembilan buah gendang yang relatif besar dan panjang, dan digunakan dalam ucapcara perkawinan, penabalan dan kematian. Sabe-Sabe selendang istiadat dipakai untuk upacara adat dan untuk tarian adat yang disebut Tor-Tor.
Marga Lubis
Selama berabad-abad lamanya dan sampai sekarang masyarakat Mandailing mempercayai bahawa Namora Pande Bosi adalah nenek moyang orang-orang Mandailing yang bermarga Lubis.
Menurut legendanya, Namora Pande Bosi berasal dari Bugis di Sulawesi Selatan. Dalam pengembaraannya dia sampai ke satu tempat yang bernama Sigalangan di Tapanuli Selatan. Kemudian dia berkahwin dengan puteri raja di tempat tersebut dan terkenal sebagai pandai besi yang mulia. Namora Pande Bosi dan isterinya yang bergelar Nan Tuan Layan Bolan mendapat dua orang anak lelaki yang diberi nama Sutan Borayun dan Sutan Bugis. (Dalam tarombo marga Lubis yang disusun oleh Raja Junjungan pada tahun 1897, ada juga tercatat bahawa nama isteri Namora Pande Bosi ialah Boru Dalimunte Naparila, artinya puteri Dalimnte yang pemalu).
Pada suatu ketika Namora Pande Bosi pergi meyumpit burung ke tengah hutan dan di sana dia bertemu dengan seorang puteri orang bunian dan mengahwininya. Menurut satu cerita, wanita itu adalah orang Lubu (orang asli). Dari perkahwinannya itu, Namora Pande Bosi mendapat dua orang anak lelaki kembar yang masing-masing diberi nama Si Langkitang dan Si Baitang. Ketika kedua anak tersebut masih dalam kandungan, Namora Pande Bosi meninggalkan isterinya dan kembali ke Hatongga. Menjelang dewasa Si Langkitang dan Si Baitang pergi mencari bapa mereka dan menemukannya di Hatongga. Lalu mereka tinggal bersama keluarga bapa mereka di tempat tersebut.
Tidak beberapa lama kemudian, terjadilah perselisihan antara anak-anak Namora Pande Bosi itu dengan anak-anaknya bersama puteri raja Sigalangan. Maka Namora Pande Bosi menyuruh anaknya Si Langkitang dan Si Baitang meninggalkan Hatongga. Mereka disuruhnya pergi ke daerah Mandailing dan jika mereka menemukan tempat di mana terdapat dua sungai yang mengalir dari dua arah yang tepat bertentangan (dalam bahasa Mandailing dinamakan muara patontang) di situlah mereka membuka tempat pemukiman baru.
Setelah lama mengembara akhirnya Si Langkitang dan Si Baitang menemukan muara patontang, lantas mereka membuka pemukiman baru di tempat itu.Tidak lama setelah ditinggalkan anaknya Si Langkitang dan Si Baitang, Namora Pande Bosi meninggal dunia dan dimakamkan di Hatongga. Makam tersebutlah yang akan dipugar. Isterinya Nan Tuan Layan Bolon yang meninggal kemudian dimakamkan di satu tempat yang bernama Hombang Bide, kurang lebih 2km dari Hatongga. Makamnya masih ada di situ sampai sekarang. Semua keturunan Si Langkitang dan Si Baitang yang menyebar di seluruh tanah Mandailing dan di tempat-tempat lain dikenali sebagai orang-orang Mandailing yang bermarga Lubis.
Pada tahun 1963, makam Namora Pande Bosi ditemukan di Hatongga, dengan petunjuk dari keturunan Raja Sigalangan. Makam tokoh legendaris yang sangat terkenal itu terletak di tengah persawahan penduduk setempat. Makam tersebut berada kurang lebih 2km jauhnya dari Jalan Raya Lintas Sumatra yang melalui desa Sigalangan, kurang lebih 14km jauhnya dari kota Padang Sidimpuan (ibu kota Kabupaten Tapanuli Selatan).
Atas usaha sejumlah orang Mandailing bermarga Lubis, kurang lebih 1.6km panjangnya jalan dari desa Sigalangan ke arah makam Namora Pande Bosi sudah dibangunkan sehingga dapat ditempuh dengan kenderaan bermotor (kereta). Tetapi jalan menuju ke makam tersebut, yang panjangnya kurang lebih 232 meter masih harus dibangun supaya dapat dilalui dengan berjalan kaki atau dengan menggunakan kenderaan. Jika jalan yang panjangnya kurang lebih 232 meter tersebut sudah dibangun, maka para penziarah yang selalu banyak berdatangan mengunjungi Namora Pande Bosi, di antaranya dari Malaysia, akan mudah mendatangi makam yang dimuliakan itu. Menurut rencana jalan yang panjangnya 232 meter itu akan dibangun dengan lebar 3 meter.
@copyright
Menurut legendanya, Namora Pande Bosi berasal dari Bugis di Sulawesi Selatan. Dalam pengembaraannya dia sampai ke satu tempat yang bernama Sigalangan di Tapanuli Selatan. Kemudian dia berkahwin dengan puteri raja di tempat tersebut dan terkenal sebagai pandai besi yang mulia. Namora Pande Bosi dan isterinya yang bergelar Nan Tuan Layan Bolan mendapat dua orang anak lelaki yang diberi nama Sutan Borayun dan Sutan Bugis. (Dalam tarombo marga Lubis yang disusun oleh Raja Junjungan pada tahun 1897, ada juga tercatat bahawa nama isteri Namora Pande Bosi ialah Boru Dalimunte Naparila, artinya puteri Dalimnte yang pemalu).
Pada suatu ketika Namora Pande Bosi pergi meyumpit burung ke tengah hutan dan di sana dia bertemu dengan seorang puteri orang bunian dan mengahwininya. Menurut satu cerita, wanita itu adalah orang Lubu (orang asli). Dari perkahwinannya itu, Namora Pande Bosi mendapat dua orang anak lelaki kembar yang masing-masing diberi nama Si Langkitang dan Si Baitang. Ketika kedua anak tersebut masih dalam kandungan, Namora Pande Bosi meninggalkan isterinya dan kembali ke Hatongga. Menjelang dewasa Si Langkitang dan Si Baitang pergi mencari bapa mereka dan menemukannya di Hatongga. Lalu mereka tinggal bersama keluarga bapa mereka di tempat tersebut.
Tidak beberapa lama kemudian, terjadilah perselisihan antara anak-anak Namora Pande Bosi itu dengan anak-anaknya bersama puteri raja Sigalangan. Maka Namora Pande Bosi menyuruh anaknya Si Langkitang dan Si Baitang meninggalkan Hatongga. Mereka disuruhnya pergi ke daerah Mandailing dan jika mereka menemukan tempat di mana terdapat dua sungai yang mengalir dari dua arah yang tepat bertentangan (dalam bahasa Mandailing dinamakan muara patontang) di situlah mereka membuka tempat pemukiman baru.
Setelah lama mengembara akhirnya Si Langkitang dan Si Baitang menemukan muara patontang, lantas mereka membuka pemukiman baru di tempat itu.Tidak lama setelah ditinggalkan anaknya Si Langkitang dan Si Baitang, Namora Pande Bosi meninggal dunia dan dimakamkan di Hatongga. Makam tersebutlah yang akan dipugar. Isterinya Nan Tuan Layan Bolon yang meninggal kemudian dimakamkan di satu tempat yang bernama Hombang Bide, kurang lebih 2km dari Hatongga. Makamnya masih ada di situ sampai sekarang. Semua keturunan Si Langkitang dan Si Baitang yang menyebar di seluruh tanah Mandailing dan di tempat-tempat lain dikenali sebagai orang-orang Mandailing yang bermarga Lubis.
Pada tahun 1963, makam Namora Pande Bosi ditemukan di Hatongga, dengan petunjuk dari keturunan Raja Sigalangan. Makam tokoh legendaris yang sangat terkenal itu terletak di tengah persawahan penduduk setempat. Makam tersebut berada kurang lebih 2km jauhnya dari Jalan Raya Lintas Sumatra yang melalui desa Sigalangan, kurang lebih 14km jauhnya dari kota Padang Sidimpuan (ibu kota Kabupaten Tapanuli Selatan).
Atas usaha sejumlah orang Mandailing bermarga Lubis, kurang lebih 1.6km panjangnya jalan dari desa Sigalangan ke arah makam Namora Pande Bosi sudah dibangunkan sehingga dapat ditempuh dengan kenderaan bermotor (kereta). Tetapi jalan menuju ke makam tersebut, yang panjangnya kurang lebih 232 meter masih harus dibangun supaya dapat dilalui dengan berjalan kaki atau dengan menggunakan kenderaan. Jika jalan yang panjangnya kurang lebih 232 meter tersebut sudah dibangun, maka para penziarah yang selalu banyak berdatangan mengunjungi Namora Pande Bosi, di antaranya dari Malaysia, akan mudah mendatangi makam yang dimuliakan itu. Menurut rencana jalan yang panjangnya 232 meter itu akan dibangun dengan lebar 3 meter.
@copyright
Senin, 21 Maret 2011
Namora Pande Bosi
Oleh Mohammad Said
Mohammad Said, pengarang terkenal termasuk Atjeh Sepanjang Sejarah, memberi tanggapan tentang kemungkinan masa munculnya tokoh Namora Pande Bosi yang dipandang sebagai nenek moyang marga Lubis. "Dalam tahun 1887 diketahui oleh penguasa Belanda bahwa Raja Gunung Tua (Padang Lawas) menyimpan sebuah patung pusaka dari tembaga, dikenal sebagai patung batara Lokanatha. Patung itu diambil Belanda dan kini disimpan di Museum Pusat. Sarnaja Brandes yang segera meneliti patung itu, berhasil memperkenal teksnya huruf Kawi sebagai berikut:
Sarjana tersebut menterjemahkan kalimat permulaaan prasasti di atas ke bahasa Belanda sebagai berikut:
"Heil" Caka-jaren verloopen 946, in de maand Caitra op den derden dag van lichte helft dan de maand of vrijdag, toen heeft Surya, de meester smid did beeld van den). Heere Lokanatha vervaardigd..."
Terjemahan bebas ke bahasa Indonesia demikian:
"Dirgahayu Tahun Caka 946 bulan Caitra, hari ke-3 bertepatan Juma'at dewasa itulah Surya, pandai besi, selesai mengukir (patung) batara Lokanatha ini..."
Diperlihatkan pada teks aslinya tentang tokoh Surya, disebut jurupandai. Pada salinan bahasa Belanda dipertegaskan dengan istilah meester smid, yang artinya tidak lain pandai besi. Ini serta merta mengingatkan kita akan nama Pande Bosi, jelasnya Namora Pande Bosi. Dari ukiran itu dapat dipahami bahwa Suraya telah berhasil membuat patung seorang dewa atau batara yang tentunya untuk dipersonifikasikan menjadi pujaan rakyat dewasa itu. Seorang ahli dan tanpa kuatir akan tertimpa ketulahan menukangi tembaga untuk jadi pujaan, bukannya seorang sembarangan atau tukang biasa saja. Ia tentunya selain ahli adalah juga seorang yang terkemuka, berderajad dan amat disegani. Sedikit banyaknya dengan nama itu biasa juga membuat kita mengarahkan pertanyaan, apakah tokoh itu bukan tokoh zaman dulu yang dikenal rakyat bernama Namora Pande Bosi. Tentunya bukan sekedar kebetulan saja ada seorang jurupandai de meester smid pembuat Lokanatha, sedangkan ada juga Pandai Bosi yang dikenal oleh rakyat dari abad ke abad.
Dari sumber lain dapat ditambahkan, bahwa sebelum Namora Pande Bosi yang bermukim di Hutalobu Hatongga Sigalangan masih ada lagi yang bernama Namora Pande Bosi, yaitu kakek (datuk) dari kakek Namora Pande Bosi yang di Hutalobu tersebut di atas. Namora Pande Bosi I tersebut bermukim di Padang Bolak Ruar Tonga (Sahit ni Huta).
Menoleh latar belakang ini 3 kemungkinan dapat diperkirakan mengenai kapan Namora Pande Bosi itu. Yakni:
1) Zaman Surya tahun 946 atau sekitar tahun 1024 M, karena Surya adalah seorang juru pandai besi
2) Zaman eskpansi Majapahit tahun Caka 1287 (1365 M) karena Gajah Mada mengetahui suatu kerajaan Mandailing yang tentunya dipimpin oleh seorang terkemuka, diperkirakan Namora Pande Bosi
3) Zaman yang lebih muda yaitu hanya sekitar abad ke 16 M. Menurut tambo (stamboom) yang diperbuat atau disimpan oleh Soetan Koemala Boelan.
Mengenai zaman Surya, kemungkinanya dapat diperhatikan dari patung Lokanatha tersebut di mana disebut ada seorang pandai besi bernama Snya. Bahwa nama itu tidak pernah dikenal (baca: tidak pernah disebut-sebut) oleh penduduk, tidaklah merupakan persoalan, sebab adalah biasa bahwa penduduk tidak pernah menyebut nama pribadi tokoh yang dihormati, sehingga apa yang diketahui adalah gelar yang diambil dari keistimewaannya, yaitu Namora Pande Besi. Bahwa jarak zaman itu cukup jauh dengan apa yang sebegitu jauh diketahui oleh penduduk nama keturunan terdekat sesudah Namora Pande Bosi, si Langkitang dan si Baiting (pura kembar Namora Pande Bosi) bukan sesuatu yang mustahil. Karena bukan jarang, sesuatu cerita dari mulut ke mulut bisa saja melangkahi beberapa generasi sebelum sampai kepada si Langkitang dan si Baitang. Atau sesudah si Langkitang dan si Baitang ada lagi beberapa generasi di antaranya sebelum sampai kepada si Alogo Raja Partomuan (yang disebut sebagai anak si Baitang).
Mengenai masa ke-2 (zaman Majapahit), kemungkinannya dapat dilihat dari masa ekspansi kerajaan tersebut ke Mandailing, yaitu sekitar tahun 1365. Bukan mustahil bahwa di bawah Namora Pande Bosilah kerajaan Majapahit terdengar kepada Mangkubumi Gajah Mada, yang membuat ia merencanakan nama Mandailing turun dalam sumpah Palapanya.
Mengenai masa ke-3, bila diambil dari nama tokoh-tokoh yang diketahui menjadi keturunan dinasti Pande Bosi dari sekedar mendapat 12 generasi, sebagai yang dapat diteliti dari silsilah atau keturunan Namora Pande Bosi itu ke sebelah cabang yang menurun kepada Soetan Koemala Boelan, * kalau ini hendak dijadikan pegangan jaraknya dari zaman Namora Pande Bosi sampai Soetan Koemala Boelan hanya sekitar 300 tahun saja.
Mana yang lebih tempat dari 3 masa tersebut, tentu meminta waktu untuk memperoleh penegasannya. Saya sekedar memperlihatkan arah studi. Andai kata Namora Pande Bosi memerintah Tapanuli Selatan termasuk Padang Lawas, mungkin ia pernah beribu kota di Gunung Tua tempat patung Lokanatha disimpan sebagai barang pusaka oleh raja Gunung Tua yang disebut oleh kontroler Belanda ditemunya pada tahun 1885 itu". Kutipan panjang di atas jelas menunjukkan betapa sukarnya mencari kepastian mengenai sejarah dan perkembangan masyarakat Mandailing di masa lalu.
Soetan Koemala Boelan lahir 8 Maret/Mac 1888, meninggal 21 Juni/Jun 1932. Beliau menjadi Raja Panusunan Bulung di Tamiang, Mandailing Julu dari tahun 1915 sampai tahun 1932. Beliau adalah seorang raja marga Lubis keturunan Namora Pande Bosi.
@copyright
Mohammad Said, pengarang terkenal termasuk Atjeh Sepanjang Sejarah, memberi tanggapan tentang kemungkinan masa munculnya tokoh Namora Pande Bosi yang dipandang sebagai nenek moyang marga Lubis. "Dalam tahun 1887 diketahui oleh penguasa Belanda bahwa Raja Gunung Tua (Padang Lawas) menyimpan sebuah patung pusaka dari tembaga, dikenal sebagai patung batara Lokanatha. Patung itu diambil Belanda dan kini disimpan di Museum Pusat. Sarnaja Brandes yang segera meneliti patung itu, berhasil memperkenal teksnya huruf Kawi sebagai berikut:
Sarjana tersebut menterjemahkan kalimat permulaaan prasasti di atas ke bahasa Belanda sebagai berikut:
"Heil" Caka-jaren verloopen 946, in de maand Caitra op den derden dag van lichte helft dan de maand of vrijdag, toen heeft Surya, de meester smid did beeld van den). Heere Lokanatha vervaardigd..."
Terjemahan bebas ke bahasa Indonesia demikian:
"Dirgahayu Tahun Caka 946 bulan Caitra, hari ke-3 bertepatan Juma'at dewasa itulah Surya, pandai besi, selesai mengukir (patung) batara Lokanatha ini..."
Diperlihatkan pada teks aslinya tentang tokoh Surya, disebut jurupandai. Pada salinan bahasa Belanda dipertegaskan dengan istilah meester smid, yang artinya tidak lain pandai besi. Ini serta merta mengingatkan kita akan nama Pande Bosi, jelasnya Namora Pande Bosi. Dari ukiran itu dapat dipahami bahwa Suraya telah berhasil membuat patung seorang dewa atau batara yang tentunya untuk dipersonifikasikan menjadi pujaan rakyat dewasa itu. Seorang ahli dan tanpa kuatir akan tertimpa ketulahan menukangi tembaga untuk jadi pujaan, bukannya seorang sembarangan atau tukang biasa saja. Ia tentunya selain ahli adalah juga seorang yang terkemuka, berderajad dan amat disegani. Sedikit banyaknya dengan nama itu biasa juga membuat kita mengarahkan pertanyaan, apakah tokoh itu bukan tokoh zaman dulu yang dikenal rakyat bernama Namora Pande Bosi. Tentunya bukan sekedar kebetulan saja ada seorang jurupandai de meester smid pembuat Lokanatha, sedangkan ada juga Pandai Bosi yang dikenal oleh rakyat dari abad ke abad.
Dari sumber lain dapat ditambahkan, bahwa sebelum Namora Pande Bosi yang bermukim di Hutalobu Hatongga Sigalangan masih ada lagi yang bernama Namora Pande Bosi, yaitu kakek (datuk) dari kakek Namora Pande Bosi yang di Hutalobu tersebut di atas. Namora Pande Bosi I tersebut bermukim di Padang Bolak Ruar Tonga (Sahit ni Huta).
Menoleh latar belakang ini 3 kemungkinan dapat diperkirakan mengenai kapan Namora Pande Bosi itu. Yakni:
1) Zaman Surya tahun 946 atau sekitar tahun 1024 M, karena Surya adalah seorang juru pandai besi
2) Zaman eskpansi Majapahit tahun Caka 1287 (1365 M) karena Gajah Mada mengetahui suatu kerajaan Mandailing yang tentunya dipimpin oleh seorang terkemuka, diperkirakan Namora Pande Bosi
3) Zaman yang lebih muda yaitu hanya sekitar abad ke 16 M. Menurut tambo (stamboom) yang diperbuat atau disimpan oleh Soetan Koemala Boelan.
Mengenai zaman Surya, kemungkinanya dapat diperhatikan dari patung Lokanatha tersebut di mana disebut ada seorang pandai besi bernama Snya. Bahwa nama itu tidak pernah dikenal (baca: tidak pernah disebut-sebut) oleh penduduk, tidaklah merupakan persoalan, sebab adalah biasa bahwa penduduk tidak pernah menyebut nama pribadi tokoh yang dihormati, sehingga apa yang diketahui adalah gelar yang diambil dari keistimewaannya, yaitu Namora Pande Besi. Bahwa jarak zaman itu cukup jauh dengan apa yang sebegitu jauh diketahui oleh penduduk nama keturunan terdekat sesudah Namora Pande Bosi, si Langkitang dan si Baiting (pura kembar Namora Pande Bosi) bukan sesuatu yang mustahil. Karena bukan jarang, sesuatu cerita dari mulut ke mulut bisa saja melangkahi beberapa generasi sebelum sampai kepada si Langkitang dan si Baitang. Atau sesudah si Langkitang dan si Baitang ada lagi beberapa generasi di antaranya sebelum sampai kepada si Alogo Raja Partomuan (yang disebut sebagai anak si Baitang).
Mengenai masa ke-2 (zaman Majapahit), kemungkinannya dapat dilihat dari masa ekspansi kerajaan tersebut ke Mandailing, yaitu sekitar tahun 1365. Bukan mustahil bahwa di bawah Namora Pande Bosilah kerajaan Majapahit terdengar kepada Mangkubumi Gajah Mada, yang membuat ia merencanakan nama Mandailing turun dalam sumpah Palapanya.
Mengenai masa ke-3, bila diambil dari nama tokoh-tokoh yang diketahui menjadi keturunan dinasti Pande Bosi dari sekedar mendapat 12 generasi, sebagai yang dapat diteliti dari silsilah atau keturunan Namora Pande Bosi itu ke sebelah cabang yang menurun kepada Soetan Koemala Boelan, * kalau ini hendak dijadikan pegangan jaraknya dari zaman Namora Pande Bosi sampai Soetan Koemala Boelan hanya sekitar 300 tahun saja.
Mana yang lebih tempat dari 3 masa tersebut, tentu meminta waktu untuk memperoleh penegasannya. Saya sekedar memperlihatkan arah studi. Andai kata Namora Pande Bosi memerintah Tapanuli Selatan termasuk Padang Lawas, mungkin ia pernah beribu kota di Gunung Tua tempat patung Lokanatha disimpan sebagai barang pusaka oleh raja Gunung Tua yang disebut oleh kontroler Belanda ditemunya pada tahun 1885 itu". Kutipan panjang di atas jelas menunjukkan betapa sukarnya mencari kepastian mengenai sejarah dan perkembangan masyarakat Mandailing di masa lalu.
Soetan Koemala Boelan lahir 8 Maret/Mac 1888, meninggal 21 Juni/Jun 1932. Beliau menjadi Raja Panusunan Bulung di Tamiang, Mandailing Julu dari tahun 1915 sampai tahun 1932. Beliau adalah seorang raja marga Lubis keturunan Namora Pande Bosi.
@copyright
Langganan:
Postingan (Atom)